Sisi Lain Maulid Nabi; Sebuah Rekonstruksi Makna1
Oleh: Lilik Ishaq2
"Minggu pagi ini kami menjalankan ritual yang dikenal dengan nama Nyiram Gong Sekati. Dalam ritual ini, gamelan pusaka Keraton Kanoman dibersihkan dengan air yang diambil dari sumur Masjid Agung Keraton Kanoman, dan diurapi dengan bunga tujuh warna, digosok pula dengan serabut kelapa yang dilumuri tanah," kata Sekretaris II Yayasan Famili Kesultanan Kanoman Cirebon RM Arief Rahman, Minggu kemarin di Keraton Kanoman Cirebon.
Hiruk-pikuk manusia pun mengiringi upacara Nyiram Gong Sekati yang dimulai Minggu pukul 09.00, dan diawasi para abdi dalem serta putra dari Sultan Kanoman XII Sultan Raja Muhammad Emirudin (putra mahkota Sultan Kanoman XI) (Peringatan Maulid Nabi saw. Di Cirebon, Kompas, Senin, 18 April 2005)
Masyarakat telah memenuhi halaman Masjid Agung Surakarta sejak pukul 08.30. Upacara diawali dengan dikeluarkan dua pasang gamelan Kiai Guntur Madu dan Guntur Sari dari Masjid Agung yang diarak menuju ke Keraton Surakarta. Selama sepekan, kedua perangkat gamelan pusaka itu ditabuh sebagai bagian dari ritual Sekaten di dua bangsal masjid.
Pukul 10.30, iring-iringan enam gunungan dan abdi dalem sampai di halaman masjid. Arak-arakan tersebut didahului dengan barisan, antara lain rombongan musik, prajurit Tamtama, Sarageni, Prawiro Anom, Jayeng Astro, Darapati, Joyo Suro, Baki, dan Panyutro.
Barisan terakhir terdiri dari pengageng dan abdi dalem keraton, termasuk di dalamnya Pengageng Parentah Keraton Surakarta GPH Dipokusumo.
Di bagian belakang, sejumlah prajurit beramai-ramai mengusung gunungan jaler dan estri.
Gunungan jaler berisi hasil bumi berupa sayur-sayuran seperti kacang panjang dan terung. Sementara gunungan estri berisi makanan matang seperti rengginang
Keenam gunungan itu dibagi dalam dua bagian. Satu pasang diperebutkan masyarakat di Kamandungan Keraton, sedangkan dua pasang diarak ke Masjid Agung.
Dua pasang gunungan diusung melewati Bangsal Sitihinggil, yang biasa dipakai sebagai tempat penobatan raja, dan Alun-alun Utara menuju Masjid Agung Surakarta. Di tempat itulah dua pasang gunungan didoakan bersama.
Dalam doa bersama itu, KRT Pudjodipuro memanjatkan permohonan bagi keselamatan negara Indonesia, khususnya rakyat Kota Solo dalam menempuh masa depan.
Namun, sesaat sebelum doa selesai dipanjatkan, dua pasang gunungan tadi langsung diperebutkan oleh masyarakat. Begitu pula yang terjadi di Kamandungan. Makanan yang diperebutkan itu dipercaya dapat membawa berkah bagi yang mendapatkannya (Peringatan Maulid Nabi saw. Di Solo, Kompas, Sabtu, 17 Mei 2003).
Itu adalah salah satu gambaran bagaiamana maulid nabi dirayakan. Begitu unik, beragam, estetis, berbau borjuis, dan tentu saja kulturalistik. Mungkin di rumah Anda memiliki cara lain dalam merayakan maulid nabi ini—tentunya bergantung pada budaya setempat.
Kalau kita telaah lebih dalam, kita telah, entah disadari atau tidak, lebih disuguhi sebuah hidangan kultural dari pada ritual agama. Dengan menyiram Gong Sekati orang kemudian terbius di dalamnya, menghayalkan keajaiban turun dari langit, kedamaian, masa depan yang cerah dan sebagainya. Kita tidak sadar telah dibawa ke ruang hampa dimana nilai kultural diformulasikan sedemikian rupa kemudian menjelma merepresentasikan nilai-nilai kultural. Makna dibalik prosesi itu kemudian ditafsirkan sedemikian rupa mengikuti alur sebuah prosesi. Layaknya prosesi akad nikah, tatkala mempelai laki-laki mencium kening mempelai perempuan dibayangkan sebagai ”selimut asmara” telah mengalir dari kedunya yang akan memberikan kebahagiaan hidup bagi mereka. Menampilkan yang simbolistik untuk menarik sebuah realitas.
Iring-iringan tumpukan makanan yang berbentuk gunung dan abdi dalem, yang sebelumnya didahului rombongan musik, prajurit Tamtama, Sarageni, Prawiro Anom, Jayeng Astro, Darapati, Joyo Suro, Baki, dan Panyutro, gamelan pusaka Keraton Kanoman yang dibersihkan dengan air yang diambil dari sumur Masjid Agung Keraton Kanoman, dan diurapi dengan bunga tujuh warna, digosok pula dengan serabut kelapa yang dilumuri tanah tak lain adalah realitas kultural dari pada agama (dengan sisi mistisnya). Inilah realitas semu yang oleh Baudrillard dikatakan sebagai simulasi—sebuah realitas abstrak yang terformulasikan dalam ritus, seakan nyata, namun semu; sebuah keselamatan, masa depan yang cerah, keamanan, ketentraman dan sebagainya bersembunyai dibalik semua itu dan diyakini akan hadir seiring berakhirnya ritual tersebut. Masyarakat kita tak lagi digelisahkan seandainya kesadaran beragama tidak tertanam dalam diri mereka. Masyarakat kita lebih hawatir kalau harus melewati moment maulid nabi (ritual Rebo Bontong di Lombok merupakan gambaran konkrit bagaimana anak-anak, remaja, dewasa, orang tua laki-laki-perempuan berduyun-duyun mengunjungi mata air, sungai, atau pantai untuk mandi, bahkan tak jarang terjadi perkelahian dalam prosesi ini, cemburu karena pacarnya diusilin cowok lain, hingga cuma karena persoalan kesenggol).
Alih-alih kemudian ritual maulid (dianggap) menjadi simbol umat Islam. Dari sinilah kita perlu curiga. Simbol menunjuk pada tanda. Sedang tanda difomulasikan sebagai mitos. Seringkali kita mengklaim bahwa ”sesuatu yang indah”, kedamaian, masa depan yang cerah, keamanan, ketentraman, kemakmuran, adalah berkorelasi dengan apa yang kita lakukan, akhirnya ritual kemudian dipahami sebagai pengikat, atau setidaknya, mampu mendatangkan semua itu.
Begitu absurd. Moralitas dan Gong Sekati, Gunungan Jaler dan Estri dan keselamatan, gamelan Kiai Guntur Madu dan Guntur Sari, dan seterusnya; apa bedanya dengan menyembah berhala kemudian berharap berhala itu memberikan rezeki, keselamatan dan sebagainya? Tentu saja yang ada hanyalah catatan kultural dari pada kitab suci sebagai wahyu. Pada akhirnya, ritual tersebut menjadi sebuah mitos. Bergerak dari ritus agama menuju ritus kultural sekuler (duniawiah). Inilah titik lahirnya yang profan dan matinya yang sakral.
1 Tulisan ini merupakan sebuah Pengantar pada Diskusi yang diselenggarakan oleh HMI Cabang Jember Komisariat Fisipol pada tanggal 29 Maret 2007 dalam rangka memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW.
2 Penulis adalah Penikmat Kajian Posmodernisme. Sampai saat ini masih tercatat sebagai Pengurus Demisioner Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jember Komisariat FISIPOL UNEJ; selain itu penulis juga merupakan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Sosiologi (HIMASOS) Universitas Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Memberikan Komentar