Senin, 15 Maret 2010

Refleksi Pembelengguan Kebebasan Mahasiswa

oleh : Nidia Pramitha*)

Judul Buku : Amarah (Refleksi April Makassar Berdarah 1996)
Penulis : Rasmi Ridjang Sikati
Halaman : xxx + 218 hlm.
Penerbit : Ombak
Cetakan : Pertama, 2005



Jika kita dengar kata “mahasiswa”, apa yang terlintas di benak kita? Kita mungkin akan berpikir bahwa mahasiswa adalah agen perubahan yang memperjuangkan aspirasi masyarakat dan merupakan pengontrol bagi tata pemerintahan di negara ini. Oleh karena itu, bisakah kita bayangkan bila kebebasan mahasiswa dalam perjuangan tersebut harus dibelenggu oleh pemerintah? Tapi itulah realitas yang terjadi apada saat jaman Orde Baru berlangsung. Gambaran itulah yang akan diangkat oleh penulis Rasmi Ridjang Sikati. Dalam bukunya yang berjudul “AMARAH (April Makassar Berdarah)”, yaitu sebuah buku yang merefleksikan prosesi dan rentetan peristiwa berdarah pada tanggal 24 April 1996.

Dikisahkan, pada bulan April tahun 1996, pemerintah Kota Makassar mengeluarkan suatu surat keputusan mengenai kenaikkan tarif angkutan kota sebesar 20% dari tarif awal. Keputusan tersebut tertuang dalam SK No. 900/IV/1996. Hanya saja keputusan tidak disosialisasikan oleh pemerintah kota (khususnya adalah Wali Kota), sehingga terjadi kesalahpahaman antara pemerintah dan juga sopir angkutan kota. Akhirnya para sopir agkutan kota dengan seenaknya menaikkan tarif tersebut sampai 70%, yaitu sebesar Rp 500.

Dengan adanya tindakan yang seenaknya sendiri diambil oleh sopir angkutan kota tersebut menmbulkan keresahan pada masyarakat, karena dianggap akan sangat memberatkan perekonomian masyarakat saat itu. Hal tersebut memicu para mahasiswa perguruan tinggi di Makassar mengadakan demonstrasi besar-besaran.

Tapi apa yang terjadi kemudian? Para aparat justru melukai para mahasiswa tersebut hingga jatuh tiga korban jiwa. Aparat menyerbu kampus UMI (Universitas Muslim Indonesia) untuk memburu para mahasiswa, seakan-akan mahasiswa tersebut adalah binatang buruan yang pantas mati.

Jika kita selami, buku ini sangat menarik karena dari segi penulisannya, sang penulis menggunakan metode-metode jurnalistik yang juga disertai dari keterangan-keterangan langsung oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan peristiwa tersebut. Selain itu, penulis juga menyertakan lampiran yang berisi tentang data korban-korban dari pihak mahasiswa dan juga aparat serta foto-foto pada saat kejadian.

Namun, buku ini bukanlah sebuah buku yang ringan untuk dibaca, karena banyak bab dan subbab yang lebih focus pada aspek hokum daripada kronologi peristiwa sendiri. Terkadang pembaca yang mungkin tidak terlalu paham atau tidak tertarik pada hokum akan merasa bosan jika membaca buku ini.

Tetapi secara keseluruhan buku ini akan menambah pengetahuan pembaca tentang peristiwa yang jarang diekspos oleh media, yang merefleksikan kebebasan mahasiswa yang terbelenggu pada saat itu. Semoga pembaca dapat mengambil pelajaran yang tersirat dari buku ini.


*) kader komisariat fisipol dari Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2008, saat ini juga aktif sebagai pengurus di HIMAHI FISIP UNEJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Memberikan Komentar