Kamis, 14 Agustus 2008

Kita Harus Mampu Melawan Degradasi Mahasiswa

Oleh : Reza F. *)

MAHASISWA??? Apa yang terlintas dalam benak pikiran kita ketika terdengar atau terlihat tentang kata – kata tersebut. Mungkin ada yang berpikiran mahasiswa adalah golongan kaum terpelajar yang berada atau menduduki tingkatan atas civitas akademika sehingga mereka telah dilengkapi dengan tingkat kemandirian yang tinggi , berwawasan luas, dapat mengatur dirinya sendiri dengan baik karena lamanya proses pendidikan yang mereka tempuh atau alami. Mungkin ada pula yang seperti ini mahasiswa adalah Sekelompok individu yang menimba ilmu jauh dari kota kelahirannya sehingga dia harus memiliki sifat tanggung jawab yang tinggi , pandai me - manage waktunya dan tingkat kemandirian yang tinggi pula. Mungkin ada juga yang berpikiran begini mahasiswa adalah golongan kaum elit yang biasanya berpenampilan wah atau parlente dengan kendaraan yang wah pula. Ataupun malah ada yang memiliki pikiran begini mahasiwa adalah sekelompok individu yang terlalu idealis sehingga saking terlalu idealisnya terkadang mereka tidak menyadari bahwa mereka telah disusupi oleh oknum – oknum yang tidak bertanggung jawab sehingga mudah diarahkan oleh mereka nantinya. Keempat pemikiran diatas sangatlah benar adanya. Kenapa saya mengatakan demikian??

Semua itu adalah konsep awal yang terbentuk ketika kita mendengar atau melihat kata – kata mahasiswa. Marilah kita telaah satu persatu., yang pertama adalah Golongan kaum terpelajar yang berada atau menduduki tingkatan atas civitas akademika sehingga mereka dilengkapi dengan tingkat kemandirian yang tinggi , berwawasan luas, dapat mengatur dirinya sendiri dengan baik karena lamanya proses pendidikan yang mereka tempuh atau alami. Menduduki tingkatan atas civitas akademika. Benar adanya karena mahasiswa berada pada tingkat paling atas dalam dunia pendidikan. Setelah berproses melewati S3 yaitu SD , SMP ataupun SMA tentunya mereka memiliki wawasan yang luas. Tetapi apakah kita sebagai mahasiswa telah dapat mengatur waktu dengan baik ( efektif dan efisien ) dan memiliki tingkat kemandirian yang tinggi pula?? Itulah yang masih menjadi pertanyaan besar hingga kini. Konsep yang kedua yaitu mungkin hampir sama dengan konsep yang pertama. Tetapi bertambah pula pertanyaan yang muncul dalam pikiran kita apakah hanya Sekelompok individu yang menimba ilmu jauh dari kota kelahirannya saja yang dapat dikatakan mahasiswa??? Lalu bagaimana dengan yang kuliah di PN / PTS yang berada dikota kelahirannya apakah tidak dapat dikatakan sebagai mahasiswa?? Tentu tetap dikatakan mahasiswa, karena itu tadi hanya konsep awal saja. Konsep yang ketiga golongan kaum elit yang biasanya berpenampilan wah atau parlente dengan kendaraan yang wah pula. Kenapa sampai ada pemikiran seperti ini?? Pemikiran ini tidaklah salah, mungkin mereka berangkat dari konsep awal mereka bahwa biaya kuliah bertambah tinggi setiap tahunnya sehingga mereka yang mampu meneruskan ke jenjang perguruan tinggi hanyalah mereka yang termasuk golongan elit. Sehingga penampilan dan kendaraan mereka termasuk elit juga. Konsep keempat adalah sekelompok individu yang terlalu idealis sehingga saking terlalu idealisnya terkadang mereka tidak menyadari bahwa mereka telah disusupi oleh oknum – oknum yang tidak bertanggung jawab sehingga mudah diarahkan oleh mereka nantinya. Konsep ini sah – sah saja karena pemikiran atau opini tidak pernah salah karena opini bersifat subyektif. Mungkin mereka berpikiran begini karena konsep awal mereka yang melihat bahwa mahasiswa itu rajin sekali demo , berorasi tapi tidak semuanya mengerti esensi atau tujuan mereka berdemo. Mereka hanya ikut – ikutan atau mereha hanya digerakkan oleh suatu kelompok atau oknum dengan diembel – embeli uang untuk membela kepentingan mereka. Meminjam istilah dari Cecep Darmawan (dosen ilmu politik UPI) mengatakan,”jika dulu pemuda itu satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa, maka sekarang pemuda itu satu rupiah”. Artinya, dipersatukan oleh rupiah untuk melakukan suatu tindakan.

Nah sekarang ini kita termasuk golongan yang mana dari keempat konsep diatas??kalau misalnya kita termasuk dalam dua golongan awal berarti kita paling tidak sudah termasuk golongan mahasiswa sepenuhnya yang dapat memahami dan mengerti apa arti mahasiswa itu sendiri. Jangan sampai kita masuk ke dalam golongan mahasiswa yang termasuk dalam konsep ketiga dan keempat, karena konsep – konsep tersebut telah menyimpang dari konsep awal apakah mahasiwa itu. Konsep ketiga, jelas sekali dari penampilan dan kendaraan, mereka telah hampir bisa dikatakan menomorduakan statusnya sebagai mahasiswa. Yang penting penampilan dan tongkrongannya. Dan mayoritas dari mahasiswa seperti ini lebih tertarik pada kegiatan – kegiatan diluar kampus ( dugem , hang – out dan shopping mungkin ). Golongan yang keempat malah lebih parah, mereka menyalahgunakan fungsi mahasiswa sebagai agent of change dan social control demi hanya segepok duit / membela kepentingan orang lain yang belum jelas betul salahnya.

Setelah kita mengerti apa arti mahsiswa itu, kita ganti menyoroti apakah arti dari degradasi mahasiswa itu sendiri?? Mengutip dari istilah dalam artikel buletin ijo tentang degradasi mahasiwa yaitu Degradasi mahasiswa adalah suatu kemunduran atau kemerosotan yang melanda mahasiswa. Dalam perkembangannya saat ini, mahasiswa telah mengalami suatu degradasi cukup besar, baik dari segi intelektualisme, idealisme, patriotisme, moral, etika maupun semangat jati diri mereka. Kalau kita melihat dari arti kata tersebut, jelaslah terjadi banyak kemunduran dalam dunia kemahasiswaan kita. Kita pernah mempunyai angkatan – angkatan mahasiswa yang telah melakukan banyak hal yang sangat prestisius. sebut saja pergerakan mahasiswa angkatan ’66 yang meneriakkan Tritura yang dibarengi penggulingan kekuasaan Soekarno yang saat itu sudah ingin berkuasa seumur hidup. Kemudian angkatan ’74 yang menorehkan tinta sejarah MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari) dengan tuntutan otonomisasi Negara dari intervensi asing dan reaksi atas isu NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus). Lalu gerakan mahasiswa Indonesia angkatan ’78 yang mengangkat isu realisasi demokrasi, transparansi, akuntabilitas, serta pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dengan icon menolak Soeharto sebagai calon presiden. Dan akhirnya, angkatan ’98 mampu menghancurkan kekuasaan bercorak militer dan represif rezim orde baru Soeharto dibawah naungan rindangnya “Pohon Beringin” selama 32 tahun.

Kebanyakan mahasiswa saat ini terlalu senang “di nina-bobokan” RoDa-isme ( Romantisme, Dugemisme dan Apatisme). Berbangga diri dengan budaya westernisasi, sambil bersusah payah menghapus jati diri bangsa kita yang mulia. Itu semua tak terlepas dari arus globalisasi yang mengalir masuk cukup deras pada negara yang paling kita cintai ini seakan – akan bangsa kita ini tidak memiliki filter yang dapat menyaring budaya – budaya dari luar. Semuanya kita terima , kita adopsi dalam berbagai kehidupan sehari – hari. Selain itu mayoritas mahasiswa sekarang ini berada jauh dari pengawasan orang tua. Sehingga yang semula ada kontrol yang kuat , kini seperti bebas dari kungkungan penjara, bebas melakukan apa yang dimauinya. Yang tidak pernah dugem dikatakan ketinggalan zaman / kuno. Padahal jika telah terkontaminasi virus dugem pasti tidak hanya sekadar ber – ajojing atau berangguk – angguk geleng – geleng saja, melainkan juga menenggak minuman keras, narkoba dan tentu saja wanita. Hal itu semua nmemang kait mengkait secara erat sehingga sangat mustahil jika seseorang mencicipi yang satu tanpa mencicipi yang lainnya. Sehingga apabila sudah terlalu addicted, jangankan memikirkan kuliah , mikiran makanpun kadang sudah lupa. Sedemikian besarlah dampaknya bagi kita. Yang ada dalam pikiran mereka hanyalah diskotik mana lagi yang akan dikunjungi nanti malam? Ada barangnya( narkoba dan cewek ) ngga nanti malam. Terakhir tentu saja angka kriminalitas meningkat ( pemerkosaan , perampokan , pembunuhan ). Sehingga generasi emas yang diharapkan dapat melanjutkan pembangunan bangsa yang macet ini telah hilang dan menjadi generasi yang apatis yang hanya tunduk pada kesenangan dan wanita saja ( kaum hedonis ). Selanjutnya mereka telah lupa bahwa sudah menjadi takdir mereka mendapatkan posisi dan perannya sebagai agent of change and agent of social control, moral force(kekuatan moral), dan iron stock(perangkat keras) suatu bangsa. Sangatlah disayangkan jika hal sedemikian rupa itu terjadi pada bangsa yang besar seperti Indonesia ini. Jika ini semua benar - benar terjadi , maka benarlah ucapan seorang ilmuwan Belanda pada awal abad 20 yaitu bahwa pada abad milenium nanti ( abad 21 dan seterusnya), bangsa – bangsa maju ( barat ) tidak akan lagi menggunakan kekuatan militernya untuk menjaga kelanggengan hegemoninya , tetapi nantinya mereka hanya perlu menggunakan 3F ( Food , Fashion n Favourite) saja. Dan disadari atau tidak , hal demikian inilah yang terjadi sekarang ini. Generasi muda sekarang ini lebih nyaman makan di gerai – gerai Fast Food, lebih punya gengsi daripada makanan tradisional. Begitu juga yang terjadi pada dunia fashion dan Favourite yang semakin meyerap budaya – budaya Western. Jika generasi muda telah dikendalikan dan dikuasai maka secara otomatis kedaulatan negara telah digenggam negara asing karena generasi muda ini nantinya akan memegang peranan dalam pemerintahan (Executive decision) nantinya. Kita harus ingat pada sebuah judul buku yang mengatakan Indonesia akan hilang tahun 2015. apabila hal yang demikian ini terus dibiarkan terjadi maka akan terjadi pula apa yang terdapat pada judul buku tersebut. Karena bangsa ini akan kehilangan sosok – sosok yang capable dari generasi – generasi penerus bangsa yang dapat melanjutkan pembangunan bangsa Ini. Tidak akan ada tongkat estafet kepemimpinan dari generasi tua ke generasi selanjutnya.

Kita semua sebagai generasi muda tentunya tidak akan membiarkan hal ini terjadi pada bangsa yang sangat kita cintai ini. Maka dari itu , agar kita tidak terjerumus dalam hal yang menakutkan seperti yang telah saya sebutkan diatas, marilah kita menyusun kembali ( Re - arrange )dari hal – hal yang kecil yang menyangkut kepentingan kita sendiri dulu. Pertama, kita sadarkan diri kita, kita yakinkan diri kita ini bahwa kita ini adalah orang yang capable , yang bisa dan mempunyai potensi yang lebih dari yang lain sehingga kita tidak kaget apabila kita mendapatkan beban / tanggungjawab yang tinggi nantinya. Kedua , kita sadarkan diri kita bahwa apabila kita sebagai mahasiswa , otomatis juga menyandang beban berat sebagai agent of change and agent of social control, moral force(kekuatan moral), dan iron stock(perangkat keras) suatu bangsa. Dan juga sebagai generasi emas yang meneruskan pembangunan nantinya. Sehingga kita tidak berleha – leha dengan status ini. Comes great power , comes great responsibility too. Keempat kita atur jadwal sehingga aktivitas kita menjadi terstruktur dan jelas. Semuanya serba right on schedule. Yang terakhir , kita perlu hilangkan sifat malas kita , kita harus semangat dan rajin dalam mengembangkan potensi yang kita miliki. Kita hilangkan budaya suka TA dan mencontoh pekerjaan teman ( termasuk penulis juga nih ) karena akan menjadi kebiasaan nantinya, sepele memang tapi bisa berakibat buruk ke depannnya.

Akhirnya, semoga kita bisa menjadi pemuda tangguh yang turut berkontribusi menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa ini, menghasilkan suatu kebaikan yang berguna untuk kebaikan lainnya, dan begitu seterusnya. Tibalah saatnya kita memimpin negeri ini. Biarkan kita menjadi seorang pemuda yang mampu melintasi The History of World Civilization (sejarah peradaban dunia). Hidup Pemuda Indonesia….!!!!

Jadi Mahasiswa? Biasa aja deh…

Oleh : Arif Pramana Putra*)

Pandangan masyarakat terhadap mahasiswa sebagai kelompok intelektual dan sebagai agen gerakan pembaharuan, hendaklah menyadarkan kita (mahasiswa) sebagai kelompok intelektual muda. Dalam hal ini, mahasiswa dituntut untuk dapat berperan lebih nyata terhadap perubahan atau paling tidak menjadi pendukung dari perubahan ke arah yang lebih baik. Kesadaran yang tumbuh dalam masyarakat untuk melakukan perubahan terhadap sistem yang cenderung berorientasi pada kekuasaan yang membelenggu demokrasi, menuntut peranan yang lebih dari mahasiswa sebagai agen perubahan serta sebagai mekanisme kawalan.

Kedudukan mahasiswa sebagai mekanisme kawalan, bermaksud sebagai pengimbang kepada kekuasaan yang ada pada pemerintah. Tugas tersebut, idealnya memang dilakukan oleh partai politik, namun sayang hal itu tidak berlaku, bahkan dimandulkan oleh kekuasaan yang tidak mengenal adanya “kritikan”. dalam konteks itulah, letak peranan mahasiswa sebagai agent of social control serta sebagai agent of change. Namun kalau dinilai, gerakan mahasiswa yang baru dibahas, sepertinya tidak mempunyai visi yang jelas serta kehilangan konsep. Itu semua, disebabkan karena kesadaran mahasiswa akan suatu gerakan belum sepenuhnya terbuka, dan bahkan cenderung bersifat euforia. Hanya beberapa mahasiswa saja yang benar-benar konsisten serta matang dalam menggagas gerakan pembaharuan.

Mahasiwa sekarang, yang mengalami degradasi, baik dari segi intelektualisme, idealisme, patriotisme, maupun semangat jati diri mereka. Mahasiswa sekarang, cenderung untuk berfikir pragmatis dalam menghadapi persoalan. Kondisi seperti ini menjadikan kampus benar-benar menjadi suatu menara gading dan jauh dari jangkauan masyarakat kecil. Mahasiswa menjadi kelas yang elite dan seolah tidak tersentuh dengan persoalan kerakyatan. Dari sistem seperti itu, terbentuklah mentality mahasiswa yang saat ini kita rasakan hedonis dan pragmatis, sebab kita dari awal dicetak untuk hidup yang serba praktis dan tidak mencoba berdialog dalam setiap pemikiran. Kita terjebak dengan hanya berdebat di bilik kuliah.

Premis awal yang kemudian ditanyakan adalah benarkah ada isu degradasi intelektual mahasiswa? “Permasalahan ini sebenarnya bias, terutama tentang makna yang kita pahami dari intelektual itu sendiri dan sampai sejauh mana bias istilah itu”. Dari sini, yang perlu ditegaskan adalah standar intelektual. “Parameter apa yang kita gunakan untuk mengukur itu?”

Jika kita berbicara tentang kondisi kawan-kawan mahasiswa UNEJ. Organisasi ekstra kampus yang berbau ideologi atau gerakan pemikiran tidak laku dijual di UNEJ. Sebaliknya, organisasi ekstra kampus olahraga dan seni sangat diminati. Namun, suasana pergerakan mahasiswa masih terasa terutama dari FISIP. Hal di atas tidak sepenuhnya kesalahan mahasiswa. Birokrasi dan regulasi kampus turut menyebabkan degradasi orientasi mahasiswa. Pembatasan mata kuliah ternyata sangat berpengaruh kepada pilihan kawan-kawan mahasiswa untuk terlibat di organisasi ekstra kampus. Mahasiswa kini tidak lagi menjadi dirinya sesuai dengan fungsi yang diembannya. Mahasiswa hanya “produk” yang dibuat oleh “produsen” untuk dipasarkan di berbagai industri di dunia. Kampus hanya “mesin cetak” dan “mesin rakit” dipajang di etalase. Tingkat maturitas sikap dan pemikiran mahasiswa tidak pernah diperhatikan mengingat sekarang ini jaman jetzet, semuanya serba cepat. Mahasiswa hanya dilihat sisi intelejensinnya saja, tanpa perlu memperhatikan emosional dan spiritualnya. Lalu, apakah fungsi mahasiswa sebagai agent of social change dan agent of social control akan tercapai tanpa pembelajaran yang tepat pada tingkat emosional dan spiritualnya.

Intelektual adalah “Kecerdasan pola piker yang mampu ditransformasikan seseorang kepada masyarakat”. Ia cenderung melihat bahwa kata itu masih abstrak dan berkutat di tataran wacana (maya) yang tidak bisa dipahami sebelum seseorang berbicara. Kalau intelektual dipagari dalam dimensi akademik saja, akhirnya titik terang lahir bahwa awalnya kata itu diartikan sebagai daya nalar atau daya pikir saja tapi kemudian setelah perkembangan lebih lanjut, intelektual itu mengalami perluasan menjadi aksi dari kesadaran nalar kritis tersebut. “Jadi yang dimaksud intelektual di sini, akhirnya adalah apa yang diserap, disimpulkaan lalu dipersembahakan.

Kalau kiprah itu lebih menjurus ke peran seorang mahasiswa dalam kehidupan social. Terbukti dengan banyaknya kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh mahasiswa. Masalahnya bukan pada penurunan kiprah namun minimnya persentase dibandingkan jumlah seluruh mahasiswa yang ada. Mahasiswa dapat digolongkan menjadi dua : mahasiswa aktivis dan mahasiswa non aktivis. Mahasiswa aktivis dibagi dua : mahasiswa yang orientasinya intelektual dan mahasiswa non intelektual. Mahasiswa intelektual lebih intens pada pada kajian, diskusi, keilmuan,tapi kuper akan problematika lingkungan disekitarnya sedangkan mahasiswa non intelektual lebih aktif di berbagai kepanitiaan atau organisasi lainnya. Sementara mahasiswa non aktifis juga dibagi dua : intens akademis yang bukan aktivis social (yaitu mereka yang mumtaz atau jayyid jiddan) dan non akademis yang kuper segalanya. “Posisi ideal”, paparnya,”mahasiswa seharusnya mengikuti kajian-kajian intelektual dan keilmuan sekaligus juga terjun dalam dinamika”. Ia menghindari penilaian pragmatis yang sering memukul rata persoalan karena pada kenyataannya, mahasiswa memiliki tipikal yang berbeda-beda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Memberikan Komentar