Kamis, 14 Agustus 2008

MEMAKNAI KEBANGKITAN, MEMAKNAI BANGSA

By: Dida S. T. *)

20 Mei 1908, Soetomo, pemuda kelahiran Nganjuk , Jawa Timur mampu membawa negeri Indonesia yang telah dirasuki kolonialisme dan imperialisme oleh Belanda selama tiga abad lebih, menuju era baru. Pada tanggal itulah untuk pertama kalinya organisasi kepemudaan muncul di Indonesia, organisasi itu bernama Boedi Oetomo. Era baru dimana semangat pemuda kala itu mulai bermunculan di hampir seluruh penjuru negeri. Hingga akhirnya pada tanggal 28 Februari 1928, pemuda-pemudi Indonesia dengan bangga mengatakan berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu INDONESIA, yang kemudian kita kenal dengan Sumpah Pemuda. Saat itu jelas hal utama yang ada di benak pemuda Indonesia adalah bangkit dari keterpurukan , guna melawan imperialisme. Semangat mereka benar-benar menggugah rasa kebangsaan, bahwa mereka cinta dan bangga memiliki tanah air ini.

Bangsa Indonesia telah banyak melahirkan generasi-generasi emasnya, dalam kurun waktu hampir 63 tahun merdeka. Mulai dari semangat Dr. Soetomo yang telah berani untuk mendirikan sebuah organisasi pemuda. Siapa tak kenal Soekarno, seorang yang dengan berani membuat keputusan merdeka dari masa penjajahan, jangan lupakan juga pemuda-pemuda yang berhasil mendesak Soekarno untuk segera membuat keputusan merdeka. Tahun 1974, seluruh perhatian Indonesia terperangah, menyaksikan pengorbanan mahasiswa-mahasiswa Universitas Indonesia yang telah berani untuk menentang otoriterisme yang dilakukan pemerintah orde baru, yang kemudian kita kenal dengan insiden MALARI. Dan yang terakhir kita harus berterima kasih pada generasi 98, yang mendengung-dengunkan revolusi dalam pemerintahan Indonesia, dan mampu menjatuhkan Rezim Soeharto yang telah 32 tahun berkuasa. Reformasi 1998, telah mengubah Indonesia secara total di berbagai bidang, dalam hal ini negara kita tumbuh sebagai negara yang mengutamakan demokrasi.

Kini apa yang bisa kita perbuat setelah melalui 10 tahun reformasi? Apakah kita tidak ingin menjadi bagian generasi emas bangsa ini? Paling tidak kita harus mampu bertindak , seperti yang dikatakan J.F Kennedy, ”jangan kau berpikir apa yang telah negara berikan kepadamu, tapi berpikirlah apa yang telah kamu berikan bagi negaramu” Pernyataan yang perlu kita kaji kembali , sudahkah kita berbuat sesuatu bagi bangsa ini? Atau apakah kita hanya bisa menjadi anak gawang, menunggu bola keluar lantas mengembalikan bola kembali kepada pemain? Kita perlu berpikir cerdas dalam perkembangan negara saat ini. Banyak kita lihat di berbagai daerah banyak mahasiswa menggelar aksi, berdemonstrasi, berteriak, bahkan ada yang bertindak anarkis. Mengapa bisa sampai terjadi tindakan - tindakan anarkis yang dilakukan para mahasiswa? Mengatakan membela masyarakat, tetapi masyarakat malah dibikin resah oleh aksi itu. Peristiwa di UNAS beberapa hari lalu menjadi bukti sekaligus cerminan, apa sudah benar mahasiswa bertindak seperti itu? Memang semua dibuat pusing dengan naiknya harga BBM, memang mayoritas memprotes keputusan pemerintah tersebut, tapi sudah benarkah caranya? Negara kita terlalu demokratis! Demokratis Indonesia adalah anarkis. Kita semua lupa bahwa kita ini satu bangsa! Demonstrasi mahasiswa yang anarkis, konflik antar kelompok, konflik kepentingan bisa dijadikan gambaran bahwa kita semua lupa bahwa kita bersaudara. Satu saudara dalam wadah Indonesia. Memang realis, menekankan tidak ada kawan dan lawan yang abadi, tapi apakah kita sudah tidak peduli lagi dengan kehidupan bangsa ini?

Generasi-generasi emas bangsa ini telah menunjukan, bahwa mereka mampu bersatu dalam kehidupan bernegara. Mereka mampu bangkit bersama mewakili masyarakat Indonesia. Mereka mampu bangkit untuk melakukan perubahan, mereka tidak mau menjadi benalu yang hanya tergantung pada orang lain. Seperti ucapan Dedy Mizwar, dalam menghayati kebangkitan bangsa, “bangkit itu mencuri perhatian dengan prestasi, bangkit itu malu menjadi benalu” Generasi emas tersebut melakukan perubahan dengan semangat persatuan, memiliki dasar yang jelas, tidak seperti masyarakat sekarang yang tampaknya menjadi benalu karena mudah terprovokasi orang lain. Dengan perubahan mereka mampu membuktikan adanya kehidupan berbangsa, seperti yang diutarakan Evelyn Waugh “perubahan adalah satu-satunya bukti kehidupan” Kini banyak masyarakat Indonesia hanya berani berteriak, tanpa melakukan suatu bentuk konkret. Asal berani pamer otot saja, tanpa adanya suatu bentuk perubahan yang di inginkan, asal puas bisa mengalahkan kelompok lain, semuanya sudah dianggap cukup. Semua memiliki konsep - konsep sendiri. Padahal seharusnya kita harus subversif terhadap semua teks yang di konstruk oleh lingkungan, bukan menerima secara dogmatis.

100 tahun Indonesia Bangkit, tapi nampaknya belum benar-benar bangkit. Analoginya, Indonesia ini masih belum siuman karena terlalu pusing memikirkan konflik. Rakyat yang hidup dibawah kibaran merah putih saja, masih belum bisa bersatu, bagaimana menghadapi persaingan dunia luar. Kita perlu memaknai rasa kebangsaan yang ada. Dengan memaknai, kebangsaan kita bisa menjadi bagian dari bangsa ini. Bahkan kita bisa menjadi sejarah dalam perjalanan bangsa ini. Kita perlu menumbuhkan rasa cinta memiliki bangsa ini, intinya bangsa ini harus kita perjuangkan. Jika melihat aksi mahasiswa akhir-akhir ini, kita perlu berpikir secara matang. Seharusnya mahasiswa adalah akademik yang terdidik, wakil masyarakat yang mampu bertindak secara cantik. Dalam artian, hilangkan cara-cara anarkis dalam bertindak. Maka dari itu rasa kebangsaan harus dimiliki oleh seluruh elemen mahasiswa. Elemen mahasiswa semestinya sadar bahwa bersatu adalah kunci keberhasilan untuk memaknai kebangsaan. Aksi pemblokiran, aksi saling lempar dengan aparat, saling ejek, bahkan tawuran antar mahasiswa masih sering kita saksikan di layar kaca. Lihat efek dari pemblokiran jalan, aktifitas masyarakat terganggu. Atau aksi saling lempar, tawuran, kalau sudah begitu jadinya bermain air basah bermain api hangus, sama-sama rugi kan? Berpikir dewasa, tentang siapa yang dirugikan dengan aksi-aksi anarkis. Sama-sama orang Indonesia yang rugi bung! Mau hidup sendiri di negara yang luas ini? Toh, biar bagaimanapun, mahasiswa masih punya alasan, aksi mereka untuk membela rakyat. Lantas kalau sudah begini, siapa yang di salahkan?

Persempit perbedaan, perluas persamaan

Elemen selain mahasiswa, juga harus bisa menjadi bagian bangsa ini. Kalau ingin bangkit, harus bersatu. Lihat saja, alangkah eloknya rasa persatuan masyarakat luas ketika timnas Indonesia bertanding, tidak ada Jakmania, Bonekmania, Aremania, Viking, dan lain-lain. Yang ada hanya satu Indonesia. Pun demikian ketika kita mendukung srikandi-srikandi bulutangkis Indonesia bertanding, teriakan-teriakan Indonesia, Indonesia, Indonesia…….,begitu emosional. Kita tentu terharu, dapat bersatu untuk mendukung Indonesia. Lantas, kenapa kita tidak mengaplikasikan semangat persatuan tersebut dalam kehidupan bermasyarakat? Perlu adanya jiwa yang ksatria, agar kita semua mampu untuk bersatu. Jiwa ksatria untuk melupakan kepentingan agama, kelompok, dan etnis. Jiwa ksatria memiliki kesadaran untuk kepentingan bangsa. Jika itu semua mampu dilakukan, bukan tidak mungkin bangsa ini melahirkan generasi-generasi emas lagi. Tentunya para pendahulu kita akan tersenyum, bahwa apa yang telah mereka lakukan tidak akan sia-sia, karena kita semua akan bangkit dan mampu memaknai kebangkitan tersebut dengan benar.

Terlepas dari semua elemen yang ada di negara ini, yang utama adalah untuk kebangkitan bangsa ini. Bangsa kita memerlukan orang-orang yang sepenuh hati menjunjung semangat persatuan. Yang sama - sama cinta terhadap Indonesia. Dengan mencintai bangsa ini, kita melakukan hal mendasar untuk melakukan perubahan dalam kemajuan bangsa Indonesia.

“Bangkit itu mencuri. Mencuri perhatian dunia akan prestasi. Bangkit itu malu. Malu bila jadi benalu” Ungkapan Dedy Mizwar tersebut bila dicermati lebih dalam tersirat banyak makna. Sudah seabad Indonesia terbelenggu. Terbelenggu dari kebodohan, kemiskinan, dan keterkungkungan ekonomi. Sudah seratus tahun Indonesia belum bisa menjadi bangsa mandiri. Ketergantungan ekonomi terus saja terjadi. Justru permusuhan dan pertikaian yang semakin menjadi. Kalau ingin bangkit, maka Indonesia harus bersatu. Persempit perbedaan, perluas persamaan. Perbedaan hanya akan membuat masalah menjadi rumit. Tidak akan pernah ada jalan keluar untuk maju jika kita terus bertikai antar sesama warga negara.

Apakah kita mau terus-terusan seperti ini? Mengapa kita tidak bergandengan tangan menyatukan tekad dengan semangat persatuan? Pikirkan perkataan Kennedy, apa yang kita berikan buat bangsa ini? Tidak akan pernah ada yang bisa kita perbuat jika masih timbul percekcokan antara kita. Provokasi dan adu domba akan membabi buta di penjuru negeri, jika kita tidak segera sadar. Kita seakan lupa semangat sumpah pemuda, tidak ada saat ini rasa untuk memiliki tanah air. Kita harus ikhlas, kalau kita ini mempunyai persamaan. Ikhlas bukan karena keterpaksaan, tetapi karena kesadaran.Para pahlawan telah mencontohkan pada kita gambaran bersatu. Meski hanya dengan sebilah bambu yang runcing, tapi mereka memiliki rasa semangat juang untuk mengusir penjajah hina.

Saat ini memang Indonesia tidak sedang dijajah negara lain atau tidak sedang dalam masa perang perjuangan seperti dulu. Tetapi sadar ataupun tidak, kita harus sadar bahwa musuh utama Indonesia saat ini ada di dalam. Tidak ada rasa cinta akan tanah air, tidak ada rasa bersatu, atau jangan-jangan kita menunggu berperang melawan Negara lain untuk bersatu. Ada atau tidak penjajah, kita harus bersatu! Kita harus memiliki satu kesamaan, sama-sama orang Indonesia.

Sukses tak bisa diraih dengan perbedaan

Dr.Soetomo telah membuktikan, bahwa kelompok mampu meraih kesuksesan dalam melakukan perubahan. Tidak ada masalah perbedaan agama, perbedaan suku dan etnis dalam tubuh Boedi Oetomo. Mereka melupakan semua itu, karena yang ada di benak mereka hanya berjuang untuk Indonesia. Mereka mampu bersatu, ibarat sapu lidi yang dipergunakan menebas debu yang ada di kasur, mereka mampu menebas debu kolonialisme Belanda yang ada di bumi Indonesia.

Maka dari itu, kenapa kita tidak menjadi penerus Boedi Oetomo? Sukses tak akan diraih jika kita masih bersikap primitif dengan mementingkan kepentingan kelompok. Apakah kita akan senang melihat saudara sebangsa kita dalam kondisi bersedih? Renungkan, dan jadikan suatu pelajaran bagi kita untuk memaknai kebangkitan bangsa. Tanpa saudara sebangsa dan setanah air, kita tidak akan pernah untuk maju.

Sekali lagi perlu adanya jiwa ksatria kita. Hilangkan ego kelompok agama, ras dan etnis. Sadar diri bahwa kita orang Indonesia. Mari kita bangkit, mari kita bersatu, lupakan perbedaan, jadikan momentum seabad kebangkitan kita sebagai awal untuk membuktikan bahwa kita pantas menjadi bagian bangsa ini. Bahwa kita pantas menciptakan sejarah penting dalam perjalanan Indonesia. Tak ada kesuksesan yang diraih sendiri, kesuksesan bangsa bisa ada kalau persatuan dapat diciptakan dibumi pertiwi ini. Dengan rasa persatuan kita dapat memaknai kebangkitan dan memaknai kebangsaan. Seperti slogan presiden dalam menyambut seabad kebangkitan bangsa”Indonesia Bisa”. Yakin, usaha, dan akhirnya sampai kita berani berteriak lantang bahwa kita memang bisa membawa Indonesia menuju perubahan.

*) Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional ‘07


By HMI Cabang Jember Komisariat Fisipol

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Memberikan Komentar