Kamis, 14 Agustus 2008

MEMOTRET KEHIDUPAN MUSLIM AMERIKA

Pengantar: Tokoh muda Muhammadiyah, Muhammad Hariman Bahtiar, berada di AS untuk mengikuti Community Leaders Program (CLP 2007) selama tiga minggu dari tanggal 6 s/d 26 Mei 2007. CLP merupakan pelatihan yang menfokuskan pada tema leadership, demokrasi, pendidikan, hak-hak sipil, toleransi dan budaya.

Program ini diikuti oleh 15 orang perwakilan dari Indonesia. Program tersebut diselenggarakan oleh Heartland International, sebuah lembaga yang berpusat di Chicago, AS dan Center for Civic Education (Perwakilan Indonesia) atas dukungan Departemen Luar Negeri AS. Berikut ini oleh-olehnya untuk Anda.

American Muslims reject extremes, demikian judul besar yang terpampang di halaman pertama suratkabar USA Today, edisi 23 Mei 2007 lalu, saat penulis tiba di Washington DC. Tulisan tersebut merupakan publikasi hasil survey yang dilakukan oleh The Pew Research Center terhadap komunitas Muslim di AS. Sebelumnya, saat penulis di Atlanta, Georgia AS, survey ini juga menjadi perbincangan hangat di TV.

Memotret kehidupan Muslim di AS, tentu menjadi salahsatu agenda penulis saat mengikuti program tersebut. Tidak ada catatan yang pasti memang tentang jumlah populasi Muslim di AS. Tapi dalam survey di atas diperkirakan dari sekitar 2,4 juta Muslim AS, mereka umumnya adalah menjadi bagian masyarakat kelas menengah. Bahkan menurut Ibrahim Hooper, Direktur Komunikasi The Council on American-Islamic Relations (CAIR), umat Islam AS dapat berintegasi secara baik dengan masyarakat AS lainnya. Mayoritas Muslim AS juga menolak terorisme dan ekstrimisme yang menggunakan simbol-simbol agama, ujarnya.

Yang menarik, dalam survey itu mengatakan bahwa Muslim AS cukup puas dengan negara AS (38 persen). Angka itu lebih tinggi dibanding suara publik AS pada umumnya yang hanya 32 persen. Survey ini juga menunjukkan 47 persen Muslim AS menyatakan jatidiri pertama sebagai Muslim dan kedua baru sebagai warga AS. Sebagian Muslim AS nyaman dengan gaya hidup AS dan mereka tidak melihat ada pertentangan antara menjadi muslim yang taat dan hidup di masyarakat modern, kata Luis Lugo, Direktur The Pew Forum on Religion & Public Life.

Survey ini tentu menarik perhatian karena sebelumnya dalam berbagai pemberitaan di media, kehidupan Muslim AS makin tidak menentu pasca serangan 11 September. Dalam pamflet yang dikeluarkan oleh The Council of Islamic Organizations of Greater Chicago (CIOGC), lebih dari 500 ribu Muslim diinterview oleh FBI. 144.513 di sidik jari di bawah registrasi khusus, sekitar 28 ribu ditahan dan 17 ribu di deportasi. Bahkan gaji pekerja Muslim turun 10 persen akibat kebijakan yang berbau Islamophobia. Dewan AS untuk Hubungan Islam-AS (CAIR) juga mempublikasikan berbagai diskriminasi yang di alami Muslim di AS. Pada laporan tahunannya, CAIR mencatat perlakuan diskriminasi terhadap Muslim AS selama 2006 meningkat 26 persen.

Dari sekitar 2.467 insiden yang dilaporkan diantaranya adalah kasus kekerasan, prasangka buruk, serta bentuk pelecehan lainnya. Organisasi advokasi hak-hak sipil yang bermarkas di Washington DC itu juga mencontohkan seorang warga Muslim harus menunggu lima tahun setelah lulus dari ujian kewarganegaraan pada 2002 sebelum akhirnya diberi kewarganegaraan AS belum lama ini. CAIR juga mencatat 167 laporan kejahatan yang didasarkan pada sikap anti-Muslim pada tahun 2006 atau meningkat 9,2 persen dibandingkan tahun 2005. Kasus-kasus diatas menurut laporan itu sebagian besar terjadi di Negara Bagian California, Illinois, New Jersey, New York dan Distrik Washington.

Survey yang dilakukan The Pew Research Center sebelumnya juga menunjukkan 53 persen Muslim yang tinggal di AS menyakini hidup mereka lebih sulit setelah kejadian 11 September. Mereka berada di bawah pengawasan ketat dan menjadi sasaran prasangka buruk. Sebagai kelompok minoritas di AS, pengalaman komunitas Muslim di AS setelah kejadian WTC 2001 itu dipandang banyak orang sebagai bagian berikutnya dari sejarah hak-hak sipil AS, kata Arsalan Iftikhar, Direktur Hukum CAIR yang menulis penelitian mengenai kasus-kasus diskriminasi itu.

Hasil-hasil penelitian di atas tidak jauh berbeda dari pengamatan lapangan yang penulis lakukan selama kunjungan ke hampir sembilan kota di AS. Saat di Chicago misalnya, penulis berkesempatan Shalat Jumat di Islamic Center di pusat kota Chicago dan bertemu komunitas Muslim di sana. Islamic Center itu berada di pusat perkantoran di South State Street Chicago, sedang masjidnya sendiri berada di lantai lima gedung tersebut. Sedangkan di Washington DC, Islamic Center berada satu jalan dengan Kedutaan Besar RI di Massachussetts Avenue (www.islamiccenterdc.com). Dan memang benar, Muslim AS berasal dari hampir 68 negara. Tak heran jika akhirnya penulis bertemu Muslim AS dengan penampilan, warna kulit, dan karakter yang berbeda.

Umumnya mereka ingin menunjukkan bahwa mereka pun hidup bahagia di AS. Tapi mereka juga cukup terganggu dengan isu perang melawan teror serta dampak peran AS dalam Perang Irak serta di daerah konflik lainnya. Di daerah pinggiran Chicago, penulis berkesempatan berkunjung ke Universal School. Sekolah ini merupakan sekolah Islam swasta yang didirikan sejak tahun 1989 oleh komunitas Muslim disana. Dilengkapi masjid serta sarana penunjang pendidikan lainnya. Sekolah ini mengalami perkembangan yang pesat, kata Ibu Farhat Siddiqui yang menjabat sebagai Kepala Sekolah.

Di samping prestasi secara akademik, sekolah ini juga mempelopori turnamen olahraga untuk putri dengan aturan memakai pakaian Muslim, serta menjadi anggota klub bola basket yang terkenal (IHSA). Sekolah ini juga menerbitkan surat kabar sekolah tiga kali setahun dan memiliki situs di internet dengan alamat www.universalschool.org. Melihat perkembangan di atas, tentu kita berharap komunitas Muslim di AS akan terus tumbuh dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Menurut hemat penulis, kita juga tampaknya harus banyak menjalin komunikasi dan kerja sama untuk proyek-proyek bersama, khususnya dalam peningkatan kualitas hidup antara komunitas Muslim di kedua negara. ( )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Memberikan Komentar