TEPUK tangan terdengar satu dua, kadang sayup saja. Lalu menjadi lebih riuh meski tak seperti biasanya. Di papan tulis, tampak dengan jelas nomer, nama dan angka hasil perhitungan pemilihan Ketua Organisasi Parodi yang berlangsung di ruang pertemuan malam itu.
Mata Pak Kurtubi memandang papan itu dengan tak percaya. Berkali-kali diusapnya keringat yang mendadak membasahi wajah dan lehernya. Wajahnya memucat dengan sorot mata yang panik dan bingung. Jika saja dia berkulit putih seperti para sinyo Belanda atau artis berdarah bule yang sering di televisi, pasti akan terlihat warna wajahnya yang beraneka warna.
Organisasi itu sendiri tidaklah istimewa. Biasa saja. Seperti halnya organisasi lainnya yang menjamur dengan berbagai nama dan atributnya, Parodi pada awalnya dikenal sebagai organisasi nirlaba yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. Ketika banjir besar melanda Jakarta di awal Februari 2007 lalu, Parodi menggandeng salah satu lembaga sosial dan mendapatkan kucuran dana dari donator luar negeri. Mereka terjun ke kantong-kantong banjir, menyalurkan bantuan sana-sini dan dengan mengajak wartawan dari beberapa media. Maka tak butuh waktu lama organisasi yang dipimpin oleh Pak Harun ini langsung dikenal luas. Sebanyak 100 anggota Parodi tentu saja bangga dengan keberhasilan ini.
Namun ketenangan organisasi itu belakangan ini terusik oleh suara ketidakpuasan dari beberapa orang, termasuk Pak Kurtubi yang dengan kerasnya mengecam kepemimpinan Pak Harun. Isyu penyunatan dana bantuan, penggerogotan uang organisasi hingga macetnya program-program dilontarkan dengan suara lantang. Tentu orang mendengarkannya, karena Pak Kurtubi bukan saja dikenal sebagai anggota yang kaya tapi juga seorang pejabat di salah satu departemen yang namanya sering tampil di media massa. Apalagi Pak Kurtubi juga didukung oleh Pak Johar, Pak Tarman dan Pak Wakidi yang juga merupakan tokoh di organisasi itu.
Namun para anggota organisasi bukanlah manusia tanpa hati nurani. Kebanyakan dari mereka memang tidak mempunyai latar belakang pendidikan tinggi, dengan penghasilan yang pas-pasan saja untuk bayar kontrakan rumah dan biaya sekolah anak-anaknya. Bahkan banyak juga yang masih berstatus mahasiswa. Idealisme organisasi yang mengutamakan kemanusiaan itu membuat mereka tertarik untuk bergabung.. Mereka selalu ingat perjuangan Pak Harun dalam memajukan organisasi, tak kenal lelah dan tulus. Bahkan rela merogoh kantongnya sendiri jika ada kegiatan di saat uang kas tipis. Menyapa anggota dengan keramahan yang tak dibuat-buat. Bahkan belum pernah Pak Harun bersikap kasar kepada anggotanya, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
Ketika akhirnya Pak Harun mengumumkan pengunduran dirinya di tengah masa jabatannya, anggota terhenyak tak percaya. Laki-laki setengah baya ini menepati janjinya untuk mundur saja daripada menjadi pimpinan di tengah banyaknya fitnah dan perasaan curiga dari sekelompok orang, yang justeru diharapkannya menjadi pendorong kemajuan organisasi itu.
Pak Kurtubi sendiri bersama tiga temannya tak kalah kagetnya. Kritik yang lebih mirip cercaan yang pernah mereka lontarkan dalam suatu pertemuan ternyata menjadi buah simalakama. Mereka memang mengharapkan adanya tindakan nyata dari Pak Harun dalam menjalankan tugasnya, dengan catatan jika memang tidak sanggup diharapkan mengundurkan diri saja. Kini dengan pengunduran diri Pak Harun, tentu akan dicari penggantinya karena organisasi apapun pastilah membutuhkan pemimpin. Siapa yang bisa menggantikan Pak Harun, merupakan pekerjaan rumah tersendiri bagi semua anggota yang mendadak seperti anak ayam kehilangan induknya.
Meski diam-diam, sorotan lalu tertuju kepada ke empat tokoh itu. Dalam benak para anggota terdapat pertanyaan yang hampir sama “Siapa di antara ke empat orang ini yang akan menjadi Ketua?”. Di luar itu, tokoh masyarakat lainnya sejak jauh-jauh hari sudah menyatakan penolakannya untuk dicalonkan, karena mereka tak mau terlibat dalam masalah ini. Lebih baik melihat seperti apa nantinya, begitu ujar salah satu tokoh yang juga dianggap calon kuat.
***
Malam itu, seminggu sebelum berlangsung pemilihan, Pak Kurtubi menerima tiga temannya di teras rumahnya yang luas, dengan kolam ikan di sampingnya. Kopi, asbak, gorengan dan makanan kecil lainnya memenuhi meja di depan mereka.
“Sungguh mengejutkan Pak Harun benar-benar mundur, dia ternyata konsekuen dengan pernyataannya. Terlepas dari apapun, saya salut pada beliau,” kata Pak Johar sambil menghisap rokok kreteknya. Lainnya mengganggukkan kepalanya.
“Tapi di sisi lain, ini juga pilihan yang sulit bagi kita. Masyarakat pasti menganggap kita ini oposan, karena mencerca dia dengan kata-kata yang tajam bahkan memintanya mundur saja jika memang tidak mampu. Jika di antara kita tampil sebagai calon, pasti akan memperkuat tuduhan bahwa kita memang akan melakukan kudeta,” ujar Pak Kurtubi sambil meletakkan telepon selulernya di meja.
Ucapan ini membuat yang lainnya termenung. Memang jadi persoalan pelik. Karena panitia pemilihan yang sudah dibentuk dengan cepat oleh Pak Harun sudah melakukan penjaringan calon. Mereka termasuk yang dijadikan calon dan akan diumumkan dalam waktu dekat ini kepada anggota. Hanya saja pencalonan ini tanpa politik uang seperti dalam Pilkada yang sampai puluhan milyar. Maklum saja, dalam organisasi ini dibutuhkan pengurus yang mau bekerja secara sukarela. Jika tak ada satupun anggota yang bersedia dicalonkan, pastilah dikembalikan lagi kepengurusan kepada Pak Harun. Padahal jelas, mereka ingin lelaki ini tidak lagi menjabat sebagai ketua.
Pak Kurtubi yang paling pusing. Selama ini dia memang tampil paling vokal mengkritisi kebijakan organisasi, terutama langkah-langkah Pak Harun. Pastilah sekarang anggota menyorotinya, ingin tahu apa yang akan dilakukannya. Padahal tak ada sedikitpun keinginan untuk menjadi ketua. Waktunya pasti tersita untuk itu. Sedangkan bisnisnya dengan beberapa relasinya yang pengusaha harus tetap jalan, belum lagi waktu yang selalu dicurinya untuk bertemu dengan Selly, gadis yang sudah setahun ini menjadi kekasih gelapnya. Membayangkan hal ini, muncul rasa was-was berbarengan dengan gairahnya.
Di samping itu, peran sebagai otak segala perencanaan merupakan hal yang disukainya sejak masih duduk di bangku SMA dan ketika kuliah dia menjadi salah satu pimpinan senat yang punya nama. Pendidikan di luar negeri makin menambah mentereng gelar dan kedudukannya. Karena itu, sering dia memandang sebelah mata semua anggota Parodi, tak terkecuali Pak Harun yang Cuma sarjana lulusan universitas dalam negeri.
Berkiprah di organisasi seperti Parodi, bagi Pak Kurtubi merupakan kenikmatan tersendiri. Dia dengan pongahnya bisa memainkan peran sebagai seorang tokoh berpengalaman dengan gelar bergengsi, Kata-katanya didengar dengan penuh perhatian. BIsa dibilang dia merupakan bintang di organisasi itu, meski dengan cepat luntur karena keangkuhannya sendiri.
Kwartet itu terus berunding bagaimana menyikapi perkembangan organisasi yang ada. Perdebatan tak terelakkan, seiring dengan bertambahnya kepulan asap rokok dan tuangan kopi di malam yang makin larut. Pak Tarman yang juga dikenal berpengalaman berorganisasi terlibat debat sengit dengan Pak Kurtubi tentang siapa dari antara mereka berempat yang akan maju sebagai calon ketua, serta bagaimana menggaet pendukung untuk menambah suara.
“Sebetulnya kita tak perlu khawatir soal perolehan suara. Setelah Pak Harun mengundurkan diri, siapa lagi yang akan dipandang oleh anggota kecuali kita? Memang ada Pak Robby, tapi dia pasti tak mau terlibat dalam pencalonan karena kedekatannya dengan Pak Harun. Sudahlah, kita tak usah khawatir “ kata Pak Wakidi yang paling senior di antara mereka mencoba meyakinkan sembari mengakhiri perdebatan.
Akhirnya diputuskan Pak Wakidi maju sebagai calon kuat menggantikan Pak Harun, sedangkan tiga lainnya sebagai calon penggembira saja alias ikut dicalonkan demi menjaga nama baik tapi tidak akan memaksakan diri sebagai ketua. Dengan penuh rasa puas dan keyakinan bubarlah pertemuan itu. Sudah terbayang dalam diri mereka, terutama Pak Kurtubi bahwa Parodi bisa dikuasai dan tak lagi ada proyek-proyek dari lembaga luar negeri yang lewat tanpa sepengetahuan mereka.
Sementara itu, di sebuah restauran beberapa anggota juga berdiskusi mengenai pengunduran diri Pak Harun. Berita ini jelas membuat anggota bertanya-tanya meski sebagian besar sudah mengerti latar belakangnya. Sikap mereka jelas, tak menerima satupun dari empat tokoh yang terkenal bersuara vokal itu. Tapi mereka tahu, jelas sulit mencari calon lainnya karena Pak Robby yang cukup dan kepemimpinannya cukup teruji tak mau ikut dalam pencalonan ini.
“Pokoknya aku tak mau jika mereka jadi pengganti ketua kita. Aku masih merasa sakit hati ketika kita sibuk menyiapkan bantuan untuk korban banjir di Manggarai dan sekitarnya, Pak Kurtubi main perintah seperti big boss di perusahaannya saja. Memangnya kita karyawan dia? Saat anggota berkeringat dan lelah, dia ongkang-ongkang saja tak mau membantu sedikitpun,” kata Kadir berapi-api. Dia sehari-hari bekerja sebagai office boy di sebuah perusahaan komoditas.
Satu jam lebih mereka memeras otak tentang siapa yang tepat selain empat sekawan itu sebagai pengganti Pak Harun, tetap saja menemui buntu. Sampai akhirnya kembali Kadir mengajukan usulan yang diterima dengan bulat, bertemu Pak Harun meminta petunjuk bagaimana sebaiknya bersikap. Setelah menerima jawaban lewat sms, disepakati pertemuan di rumah Pak Harun besok malamnya.
Keesokan harinya, di malam yang sama ketika Kadir dan teman-temannya sedang dalam perjalanan ke rumah Pak Harun, Pak Wakidi bersama temannya menemui seorang paranormal yang sering didatangi para pejabat dan politisi.
“Langsung saja, Mbah; maksud kedatangan kami ingin mohon restu. Terus terang kami mendapat mandat dari para anggota untuk mencalonkan sebagai ketua. Hal ini didorong oleh keinginan untuk memperbaiki kondisi organisasi yang semrawut. Selama periode kepemimpinan saat ini, tak ada kemajuan berarti bahkan penggunaaan dana kas organisasi tidak jelas. Sebagai senior di organisasi itu, saya harus tutup mata dan telinga bila melihat dan mendengar tentang penyelewengannya.”
Paranormal itu seperti biasanya manggut-manggut saja mendengarkan keluhan atau pidato berapi-api dari setiap tamunya. Sikap yang memang tepat dan cocok, sehingga tak heran banyak yang berbicara hampir tanpa jeda. Sepertinya para pejabat atau politisi dan orang-orang penting di negeri ini butuh tempat mencurahkan isi hatinya, dan paranormal dirasakan paling pas selain mengharapkan kekuatan dari segi klenik.
“Saya sangat prihatin dengan kondisi organisasi itu,mbah. Nurani saya terusik, dan saya berjanji pada diri sendiri bahwa praktek-praktek semacam itu tidak boleh berulang. Nantinya akan ada tradisi baru dalam organisasi. Tradisi yang mengharamkan korupsi, kesewenangan, kesombongan kekuasaan dan tidak peduli pada anggotanya.”
Setelah mendapat wejangan dan bekal berupa kertas yang dilipat dan diikat dengan benang warna putih, barulah Pak Wakidi pulang dengan wajah berseri. Sudah terbayang kemenangan dan tepuk tangan dari anggota Parodi saat pemilihan dan dia meraih kemenangan yang besar. Mengingat hal ini, segera dihubunginya Humas Parodi agar mempersiapkan undangan untuk pers. Kemenangan ini harus disaksikan dan diberitakan oleh media massa. Nama dan fotonya pasti terpampang di koran dan majalah.
***
Hajatan itu akhirnya tiba juga. Selain empat sekawan itu, Panitia yang bertugas melakukan penjaringan calon juga mencatumkan tiga calon lainnya. Semuanya sudah dikenal oleh para anggota, meskipun maklum sisa nama itu hanya formalitas semata. Apalagi pendukung Pak Wakidi sudah gencar melakukan pendekatan baik secara diam-diam maupun terang-terangan.
Ruang pertemuan di samping kantor pusat Parodi sudah dipenuhi para anggotanya. Beberapa spanduk tampak dipasang di sudut dengan yel-yel pentingnya persatuan, di tengah nama-nama para calon yang ditulis dengan huruf besar dan berwarna menyolok. Panitia tampak sibuk mempersiapkan kotak perhitungan suara, melayani daftar hadir dan juga lainnya.
Pak Harun sendiri sudah datang lebih awal, karena merangkap juga sebagai Ketua Panitia. Ditelitinya lagi berkas-berkas yang ada, termasuk kertas suara yang sudah disiapkan panitia untuk mencegah kecurangan. Lalu dia bergegas ketika dilihat para pembina organisasi datang untuk menyaksikan dan sekaligus melantik ketua baru yang terpilih.
Begitu juga dengan Pak Wakidi, dengan tampilan rapinya, jas yang harganya pasti cukup untuk membayar kontrakan rumah petak selama beberapa bulan. Keyakinan dirinya untuk menang tampak terlihat dari sikapnya yang mantap. Ditatapnya sekeliling ruangan, dan tanpa kentara dia tersenyum saat dilihatnya beberapa wartawan sudah mulai berdatangan.
Setelah semua anggota memenuhi kuorum, MC segera memulai acara. Dipanggilnya ketujuh calon untuk duduk di kursi di sebalah kiri dan kanan agar bisa dilihat secara langsung oleh anggota. Pak Kurtubi duduk dengan tenangnya, wajahnya penuh senyum dan disalaminya Pak Harun dengan erat sebelum pindah ke calon yang lainnya.
Setelah semua sambutan diberikan, Pak Harun bersama anggota panitia lainnya segera memulai pemilihan. Para anggota yang sudah mendapatkan kertas suara segera sibuk mengisi dengan nama calon yang sesuai pilihannya.
***
“Bagaimana Pak Kurtubi?”. Pertanyaan ini membuat Pak Kurtubi terlonjak. Matanya masih nanar menatap papan yang memuat hasil perhitungan suara. Masih belum dipercayai matanya, karena namanya mendapatkan suara terbanyak, mengalahkan dengan telak Pak Wakidi, Pak Tarman dan Pak Johar. Sungguh ini tak diduganya, karena jagoan mereka yaitu Pak Wakidi kalah dengan telak.
Sambil mengusap keringatnya, Pak Kurtubi beranjak dari tempat duduknya menuju kursi di sebelah Pak Harun yang memimpin proses pemilihan itu. Diambilnya sapu tangan dari saku celananya, dilapnya keringat yang tak hentinya mengucur meski ruangan itu telah diguyur dengan dinginnya AC.
Dengan suara yang tampak gemetar dan agak terbata, Pak Kurtubi yang sebelumnya dikenal sebagai jago pidato menyatakan ketidaksanggupannya menjadi ketua organisasi. Banyak alasan dikemukakannya, termasuk kesibukannya sebagai pejabat eselon yang sering memimpin rapat-rapat dinas keluar kota.
Pak Harun lalu berunding dengan para pembina Parodi. Setelah memakan waktu hampir lima belas menit, akhirnya ketua pembina yang mantan menteri tampil berbicara, dan meminta kepada para anggota agar ikhlas demi kepentingan organisasi untuk mendudukkan Pak Johar sebagai Ketua yang baru. Hal ini diputuskan agar roda organisasi tidak mandek, dan Pak Johar sendiri menempati urutan kedua dalam perolehan suara. Suara koor setuju dari anggota segera menggema, diikuti ketukan palu dari Pak Harun selaku ketua panitia yang menandakan sahnya pemilihan dan diakhiri dengan pelantikan oleh para Pembina.
Ruang pertemuan itu sunyi, tinggal beberapa petugas kebersihan yang sibuk membereskan kursi dan menyapu lantai dari kardus makanan. Pak Harun masih berdiri di depan gedung bersama beberapa anggota Parodi. Sedangkan Pak Johar sudah pulang karena mendadak isterinya menelepon, yang kemudian diikuti oleh Pak Kurtubi yang masih pucat wajahnya.
“Selamat,pak” begitu berulang ucapan yang diterima oleh Pak Harun. Wajahnya tampak tenang, tak terlihat kesedihan karena tak lagi menjadi ketua Parodi.
“Saya tidak merasa kalah atau menang. Mundur bagi saya bukan berarti kalah, sebaliknya maju juga tidak mesti menang. Pemilihan kali ini memberikan banyak pelajaran buat saya dan juga buat kita, bahwa anggota adalah cermin dari rakyat, yang akan memberikan sanksi atau hukuman sosial bagi pemimpin yang sewenang-wenang.”
Para anggota yang berkerumun mengelilingi Pak Harun manggut-manggut. Mereka tahu bahwa sejak saat itu, Pak Kurtubi telah kehilangan muka. Sebagai pengeritik kebijakan yang tajam dan kadang sarkastis, ternyata mentalnya melempem ketika harus tampil sebagai pemimpin. Sedang Pak Wakidi sendiri akhirnya harus menerima kenyataan keseniorannya bukanlah jaminan untuk mendapat kepercayaan dari anggota.
Malam yang makin larut tampak cerah. Pak Harun berjalan menuju mobilnya sambil tersenyum. Sebagian beban di pundaknya telah lepas. Kata-kata yang telah diucapkannya tadi adalah pengulangan dari apa yang dikatakannya kepada Kadir dan teman-temannya ketika mereka bertandang ke rumahnya. “Biarkan yang merasa paling pintar menjadi pemimpin, karena rakyat tidak butuh kelihaian bicara tapi kesungguhan dan ketulusan dari jiwa,” begitu ucapannya yang lain saat itu.
Priok, 05 juli 07
http://blue4gie.com/2007/07/10/mundur/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Memberikan Komentar