Kamis, 14 Agustus 2008

Membongkar Paradigma Kemiskinan

Oleh Agus Muhammad

Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta.

Perdebatan soal kenaikan harga BBM terus berlanjut. Sejauh yang dapat kita tangkap dari perdebatan itu, pihak yang pro maupun yang kontra tidak mencerminkan paradigma yang mendasar soal kemiskinan. Bahkan, ironisnya, ada kecenderungan kuat, khususnya pada argumen yang disampaikan pemerintah, isu kemiskinan hanya dijadikan alat untuk membenarkan pendapat. Mirip dengan kampanye politik, isu kemiskinan lagi-lagi dieksploitasi sedemikian rupa untuk menyembunyikan tujuan-tujuan tertentu di balik janji manis yang diobral secara murah.

Contoh yang sangat telanjang soal ini adalah argumen bahwa tujuan kenaikan harga BBM adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin. Padahal, semua orang tahu bahwa kebijakan itu lebih didasarkan pada kebutuhan anggaran ketimbang upaya serius untuk betul-betul memikirkan nasib rakyat miskin.

Hal yang sama juga terlihat pada argumen yang disampaikan pihak yang kontra. Di samping berpijak pada pengalaman masa-masa sebelumnya yang hampir selalu salah sasaran dalam masalah kompensasi, kenaikan harga BBM menurut mereka bukan satu-satunya jalan untuk menutup defisit anggaran. Efesiensi dan menutup kebocoran anggaran yang diperkirakan mencapai 30% adalah jalan lain yang bisa ditempuh tanpa harus menaikkan harga BBM. Sampai batas tertentu, argumen ini – disadari atau tidak – justru lari dari persoalan kemiskinan.

Yang lebih menggelikan adalah pandangan yang mencoba menengahi pro-kontra di atas. Alih-alih memberikan pendasaran yang lebih paradigmatis mengenai problem kemiskinan, kelompok netral ini justru beranggapan bahwa kenaikan harga BBM sudah terlanjur diputuskan; yang penting dan perlu mendapat perhatian adalah bagaimana menjamin kompensasi untuk rakyat kecil itu betul-betul sampai ke tangan yang berhak. Sekilas, pandangan ini nampak arif – meski sebetulnya lebih tepat disebut pragmatis – namun ini lebih berbahaya, karena problem kemiskinan didekati secara karitatif. Sampai kapan pun, kemiskinan tidak akan teratasi dengan pendekatan karitatif.

Fenomena Struktural

Yang menarik, hampir seluruh argumen yang muncul ke permukaan berkenaan dengan pro-kontra kenaikan harga BBM, cenderung melihat masalah kemiskinan sebagai fenomena sosial. Akibatnya, pendekatan yang kemudian dominan adalah pendekatan karitatif. Padahal, kemiskinan bukan semata-mata fenomena sosial, tetapi lebih merupakan fenomena struktural.

Kalau kita menengok analisis klasik soal kemiskinan, setidaknya ada tiga perspektif yang berbeda dalam melihat kemiskinan. Pertama, kemiskinan dilihat sebagai manifestasi dari takdir. Orang menjadi miskin karena sudah ditakdirkan terlahir dari keluarga miskin. Kemiskinan adalah kehendak Tuhan. Dengan demikian, manusia hanya diberi satu pilihan untuk mengubah keadaan: berdoa. Jika Tuhan menghendaki, maka apa pun bisa terjadi, termasuk mengubah orang yang tadinya miskin menjadi kaya raya. Perspektif ini melihat masalah kemiskinan sebagai femonena transendental.

Kedua, kemiskinan dilihat sebagai akibat dari mentalitas orang yang bersangkutan. Orang menjadi miskin karena malas, bodoh dan tidak mau bekerja keras. Termasuk dalam kategori ini adalah anggapan bahwa orang miskin tidak memiliki etos kerja. Perspektif ini mewakili pandangan yang melihat kemiskinan sebagai fenomena sosial.

Ketiga, kemiskinan dilihat sebagai akibat dari struktur yang tidak memberi peluang kepada orang miskin untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Berbeda dengan dua perspektif di atas, perspektif ini melihat kemiskinan sebagai ciptaan struktur. Seseorang menjadi miskin bukan karena dia ditakdirkan lahir dari keluarga miskin, juga bukan karena malas, bodoh dan atau tidak punya etos kerja yang tinggi, tetapi lebih karena struktur memang menghendaki begitu. Dalam perspektif terakhir inilah dikenal istilah kemiskinan struktural.

Disadari atau tidak, perdebatan mengenai kenaikan harga BBM belum sepenuhnya beranjak pada paradigma yang ketiga, terutama argumen yang disampaikan pemerintah. Jika pemerintah masih berkutat pada perspektif yang melihat kemiskinan sebagai fenomena sosial, ini sebetulnya bukan barang baru. Tidak aneh jika pemerintah berpegang pada perspektif itu, karena institusi ini memang berkepentingan untuk berkelit dari tugasnya sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap problem kemiskinan. Argumen yang selalu diulang-ulang adalah bahwa kemiskinan terlalu kompleks untuk diselesaikan dalam waktu singkat; dan bahwa kemiskinan adalah masalah kita bersama; oleh karena itu, tugas kita semua untuk mengatasinya secara bersama-sama pula. Ini adalah distorsi dan manipulasi dalam bentuk yang sangat halus. Rakyat dipersuasi sedemikian rupa sehingga akhirnya lupa bahwa kemiskinan bukan fenomena struktural. Yang aneh adalah jika persuasi itu justru dilakukan oleh kaum intelektual.

Bukan Kenaikan Itu yang Dikeluhkan

Jika kita mencoba menangkap pesan tersirat dari keluhan masyarakat soal kebijakan pemerintah yang tidak populer itu, maka sebetulnya keberatan masyarakat bukan pada masalah kenaikan harga BBM itu sendiri, tetapi lebih pada komitmen pemerintah yang dianggap tidak cukup sensitif terhadap problem riil yang dihadapi masyarakat miskin. Kenaikan harga BBM mungkin memang tidak terhindarkan, sehingga tidak perlu dipersoalkan secara berlebihan. Tetapi pemerintah mestinya juga menyiapkan semacam jaring pengaman sosial secara lebih terpadu dan menyeluruh untuk melindungi masyarakat miskin dari dampak kenaikan harga yang jelas-jelas tidak bisa dicegah.

Sejauh ini, rakyat miskin hanya dijadikan semacam obyek eksploitasi, baik oleh orang-orang kaya, para politisi, maupun pejabat. Mereka dilirik dan didekati jika dibutuhkan. Persis pepatah “habis manis sepah dibuang”, mereka segera dicampakkan setelah tidak lagi dibutuhkan. Pemandangan tragis soal penggusuran pedagang kaki lima yang mengatasnamakan ketertiban adalah contoh paling memilukan soal ini. Tentu ini tidak berarti pedagang liar bebas berjualan kapan saja dan di mana saja. Disamping persoalan cara, pemerintah tidak menunjukkan indikasi yang bisa dipercaya bagaimana menangani masalah kemiskinan secara lebih serius, terencana dan berkelanjutan.

Di atas itu semua, pemerintah tidak memiliki keberpihakan yang cukup jelas terhadap orang miskin. Hampir tidak ada kebijakan yang secara langsung dan berkelanjutan berpihak pada penduduk miskin. Kalaupun ada kebijakan yang coba digulirkan, kebijakan itu kandas pada tingkat implementasi. Ini bukan semata-mata karena proses pelaksanaan kebijakan di lapangan tidak didukung oleh mekanisme yang menjamin kebijakan itu dapat berjalan baik sesuai dengan rencana, tetapi terutama karena kebijakan itu sendiri tidak didasari visi yang cukup jelas dalam melihat dan menanggulangi masalah kemiskinan.

Mirip dengan masalah korupsi, kemiskinan adalah problem krusial yang butuh kesungguhan, kerja keras, komitmen dan tindakan nyata untuk bisa mengatasinya. Usaha serius pun belum tentu berhasil, apalagi jika sebaliknya. Bahaya kemiskinan – sebagaimana juga korupsi – sudah jelas di depan mata. Kriminalitas yang semakin brutal dan terang-terangan hanya satu sisi dari bahaya kemiskinan. Untuk menghentikan anarki kaum miskin, tentu tidak cukup dengan retorika, khutbah maupun pentungan dan senapan. Perlu upaya sistematis, terencana dan berkelanjutan untuk mengatasinya. Dan, kompensasi kenaikan harga BBM jelas tidak cukup, meski sudah tepat sasaran sekalipun. Apalagi jika konpensasi itu kemudian diselewengkan. (agus mhd)

***

http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=206

KEBIJAKAN PUBLIK, SUDAHKAH RESPONSIF GENDER

(Introspeksi dalam rangka Peringatan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2008) Oleh : Ruhana Faried, SHI. MHI (Ketua KOHATI PB HMI)

Tanggal 8 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai hari perempuan internasional. Berbagai kegiatan dilakukan pada hari tersebut. Mulai dari seminar, dialog publik, aksi damai di jalan, panggung aspirasi dan beberapa kegiatan lainnya. Umumnya diselenggarakan oleh kelompok NGO, ORMAS dan OKP perempuan. Berbagai issu diusung dalam kegiatan ini. Issu yang diusung, tentu saja berorientasi pada kepentingan perempuan. Pertanyaannya kemudian, kenapa harus untuk kepentingan perempuan? Dan kenapa harus perempuan?

Pertanyaan ini sebenarnya bukanlah hal yang baru dan tabuh. Sebab hal ini senantiasa dipertanyakan oleh beberapa kalangan, khususnya mereka yang tidak paham mengenai gender. Acapkali gender dipahami sebagai ”jenis kelamin” yaitu perempuan. Sungguh sangat menggelitik...

Gender merupakan konstruksi sosial budaya yang telah berakar dalam dinamika kehidupan yang senantiasa patriarkhi dan cenderung memarginalkan perempuan.

Kaum perempuan selalu mendapatkan imbas dari konstruksi sosial budaya yang menganggap bahwa perempuan adalah kaum yang lemah dan berbagai pelabelan tidak baik disandarkan padanya. Akibatnya, kaum perempuan banyak menerima kekerasan dan ketidakadilan dalam hidup bermasyarakat. Hal inilah yang menjadi keresahan para aktivis dan tokoh perempuan di seluruh dunia. Upaya apa yang harus dilakukan untuk meminimalizir atau bahkan merombak konstruksi sosial budaya berikut imbasnya?

Para aktivis dan tokoh perempuan telah melakukan berbagai upaya untuk mengubah pola pikir masyarakat. Hal ini diawali dengan memberikan penyadaran kepada kaum perempuan itu sendiri mengenai kewajiban dan haknya sebagai makhluk sosial.

Selama beberapa tahun, upaya ini dianggap berhasil. Indikasinya adalah karena sudah semakin banyak perempuan yang menyadari akan pemberdayaan potensi dirinya dan mengetahui bahaya-bahaya kekerasan yang setiap hari dapat mengancam hidupnya. Persoalan yang kemudian muncul lagi adalah kebijakan publik yang belum responsif gender.

Beberapa kebijakan yang ada di Indonesia masih sangat bias gender. Sekalipun telah ada beberapa kepala pemerintahan di daerah yang telah menyusun kebijakan yang responsif gender. Misalnya saja kebijakan pada sektor anggaran (budget). Untuk mengetahui sejauhmana kebijakan anggaran itu responsif gender atau tidak, maka terlebih dahulu harus diketahui adalah apa indikator dari anggaran yang responsif gender?

Menurut United Nation Development Fund For Women (UNIFEM) untuk dapat disebut sebagai anggaran responsif gender, harus memiliki beberapa karakteristik yaitu :

1. Bukan merupakan anggaran yang terpisah bagi laki-laki atau perempuan,

2. Fokus pada kesetaraan gender dan PUG dalam semua aspek penganggaran baik di tingkat nasional maupun lokal,

3. Meningkatkan keterlibatan aktif dan partisipasi stakeholder perempuan,

4. Monitoring dan evaluasi belanja dan penerimaan pemerintah dilakukan dengan responsif gender

5. Meningkatkan efektivitas penggunaan sumber-sumber untuk mencapai kesetaraan gender dan pengembangan SDM,

6. Menekankan pada prioritas daripada meningkatkan keseluruhan belanja pemerintah,

7. Melakukan reorientasi dari program-program dalam sektor-sektor daripada menambah angka pada sektor-sektor khusus. (sumber:www.anggaran.depkeu.go.id, 14-5-2007)

Di beberapa negara di dunia, sebenarnya telah ada yang menerapkan anggaran responsif gender seperti di Australia dikenal dengan "women's budget", di Afrika Selatan dikenal dengan gender sensitive budget analisis, Tanzania dikenal dengan sebutan gender budget inisiatif bahkan di negara tetangga kita Philipina anggaran responsif gender-pun telah dilaksanakan. Berdasarkan pengalaman beberapa negara tersebut menunjukkan bahwa anggaran responsif gender memberikan manfaat bagi pemerintah. (sumber:www.anggaran.depkeu.go.id, 14-5-2007)

Salah satu manfaat anggaran yang responsif gender bagi pemerintah adalah sebagai instrumen pemerintah untuk melaksanakan komitmennya dalam hal gender sebagaimana telah disepakati secara international. Fungsi anggaran selain sebagai fungsi ekonomi juga berfungsi sebagai distribusi pemerataan. Melalui penganggaran yang responsif gender dapat diketahui sejauh mana dampak dari alokasi anggaran yang telah ditempuh pemerintah berpengaruh terhadap kesetaraan gender. Gap/kesenjangan pelaksanaan prioritas pembangunan dapat dikurangi bahkan dihilangkan karena telah responsif terhadap kebutuhan gender (laki-laki maupun perempuan). Memberikan ruang bagi pemerintah untuk mengetahui fokus pembiayaan kepada kelompok marginal dan tidak beruntung terhadap alokasi anggaran. Lebih lanjut diharapkan dari penerapan ini adalah terwujudnya keseimbangan dan sustainable dalam pembangunan serta semakin meningkatnya akuntabilitas dan efektivitas pelaksanaan kebijakan pemerintah. (sumber:www.anggaran.depkeu.go.id, 14-5-2007)

Selain kebijakan dalam sektor keuangan (anggaran), kebijakan dalam sektor hukum (perundang-undangan) juga masih banyak yang bias gender dan tidak menganut asas keadilan. Padahal hukum itu dipahami sebagai instrumen untuk menyelesaikan ketidakadilan dalam relasi antar manusia, termasuk relasi berdasarkan gender.

Produk perundang-undangan dan fikih di mana hukum dihasilkan dan diputuskan, pada beberapa fakta tidak selamanya melahirkan keadilan bagi korban khususnya perempuan. Undang-undang No.1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam banyak hal belum sepenuhnya mengafirmasi keadilan bagi perempuan. Melalui undang-undang ini banyak perempuan yang belum merasakan keadlan, bahkan pada beberapa perkara justeru mengalami kekerasan dan menjadi obyek penderita. Laporan Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) tahun 2006 yang membukukan 22.350 kasus kekerasan terhadap kaum perempuan, merupakan fakta yang tidak dapat diingkari betapa kaum perempuan masih menjadi subyek ketidakadilan. (Husein Muhammad:07:3:2008). Hal ini menandakan bahwa perempuan masih menjadi ”makanan empuk” bagi produk hukum yang menimbulkan kekerasan terhadap perempuan. Oleh karena itu, adalah sangat penting bagi kaum perempuan untuk dapat terlibat sebagai gerakan affirmative action dalam pengambilan kebijakan publik di semua sektor. Sebab hanya perempuan sendiri yang memahami persis kebutuhannya.

Dalam rangka hari perempuan internasional 8 Maret 2008, sudah selayaknya menjadi bahan introspeksi bagi semua komponen baik pemerintah, NGO, LSM, OKP, ORMAS dan masyarakat luas untuk dapat bersama-sama memperjuangkan hak-hak perempuan sebagaimana pemenuhan hak-hak bagi kaum laki-laki.

Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam memperbaiki dan memenuhi syarat kualitas hidup yang berdasarkan hak asasi manusia. Sedangkan NGO/LSM/OKP.ORMAS menjadi pengontrol atas kebijakan pemerintah.

SEKIAN DAN TERIMA KASIH

SELAMAT HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL 8 MARET 2008

MAJULAH PEREMPUANKU, MAJULAH BANGSAKU!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Memberikan Komentar