Pembicara: Edward Aspinal
Pengantar
Melihat konflik Aceh bisa melalui kaca mata yang berbeda, dengan apa yang dibangun selama ini; bahwa konflik Aceh terjadi karena ketidak adilan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Kalau alasan itu dibangun, maka tidak hanya Aceh yang merasakan ketidakadian demikian, Riau juga mengalami hal serupa. Ada hal yang mendasari konflik Aceh, yaitu persoalan nasionalisme Aceh.
Nasionalisme Aceh
Fungsi nasionalisme adalah sebagai mata yang melihat kedalam, yaitu untuk menjelaskan identitas, sekaligus mata keluar sebagai suatu ideologi yang menjelaskan bahwa suatu bangsa sejajar secara internasional dengan bangsa lain. Dalam konflik Aceh pada fase Gerakan Aceh ini, warna nasionalisme Aceh kuat dari pada ideologi Islam yang pernah menjadi asas gerakan perlawanan Aceh pada masa sebelumnya.
GAM pertama kali di deklarasi pada 4 Desember 1976. Gerakan ini mengusung nasionalisme Aceh secara jelas. Nasionalisme yang dibangun sebagai pembeda dengan nasionalisme Indonesia yang sebelumnya telah ada. Bangunan ide seperti ini sebelumnya tidak pernah ada. Pada Perang Aceh diakhir abad 19, tidak pernah ditemukan bahwa rakyat berperang karena membela tanah kelahiran, melainkan berperang sebagai tuntutan agama. Garis demarkasi juga bukan antara Aceh-Belanda, melainkan muslim-kafir. Hal ini terus berlanjut pada masa-masa berikutnya, terutama ketika masa revolusi. Dalam proses sejarah integrasi Aceh ke Indonesia juga ideologi Islam masih terlihat kuat, bahkan menjadi perekat antara Aceh dan wailayah-wilayah lain di Indonesia.
Bagi Hasan Tiro, sebagai pendiri Gerakan Aceh Merdeka, yang meyakini bahwa Aceh merupakan identitas tersendiri, yang memiliki sejarah dan jati diri yang kuat. Oleh karenanya, kedaulatan Aceh yang sudah dimiliki ratusan tahun yang lalu mesti dikembalikan.
Dalam diskursus nasionalisme, para pakar menguraikan bahwa nasionalisme adalah fenomena modern yang lahir dari rahim industrialisasi dan modernisasi di dunia barat. Ini menjadi gelombang baru dibelahan dunia lainnya, termasuk di negeri-negeri muslim.
Gelombang nasionalisme ini tentu memberikan paradigma yang berbeda dengan apa yang dibangun oleh perjalanan pengalaman suatu bangsa. Dalam hal ini Hasan Tiro membangun pandangannya tentang Aceh melalui paradigma yang dibangun oleh bangsa Eropa. Untuk melacak ini tidak terlalu sulit. Kepergiaannya untuk belajar di Amerika Serikat awal tahun 1950-an telah mempengaruhi cara pandangnya melihat Aceh.
Ideologi nasionalisme Aceh yang dibangun ditubuh GAM berasal dari pengalaman tersebut. Dalam melihat Aceh, Hasan Tiro lebih memilih cara pandang orang Eropa yang melihat Aceh dengan bangunan gagasan nasionalisme yang telah berkembang di Eropa sebelumnya, dari pada tulisan orang Aceh sendiri. Berbeda dengan tulisan orang Aceh, penulis Eropa memandang orang Aceh yang melawan Belanda adalah sebagai sikap heroik “bangsa” Aceh dari pada fanatisme beragama. Padahal saat itu gelombang nasionalisme belum memasuki Aceh. Artinya kesadaran Aceh adalah kesadaran beragama dan kesadaran “bernegera” klassik, yaitu ketaatan kepada pemimpin. Jadi bisa dikatakan, nasionalisme Aceh bukan sikap revival, melainkan hal baru yang dibalut dengan romantisme sejarah.
Kelahiran Gerakan Aceh Merdeka
GAM lahir karena kegagalan gerakan Darul Islam pada masa sebelumnya. Darul Islam muncul sebagai reaksi atas ketidakberpihakan Jakarta terhadap gagasan formalisasi Islam di Indonesia.
Darul Islam adalah sebuah gerakan perlawanan dengan ideologi Islam yang terbuka. Bagi Darul islam, dasar dari perlawanan adalah Islam, sehingga tidak ada sentimen terhadap bangsa-bangsa lain, bahkan ideologi Islam adalah sebagai perekat dari perbedaan yang ada. Gagasan ini juga berkembang dalam gerakan Darul Islam di Aceh.
Akan tetapi, paska berhentinya perlawanan Darul Islam Aceh, keinginan Aceh untuk melakukan Islamisasi di Indonesia menjadi lebih sempit hanya kepada Aceh. Perubahan ini terjadi disebabkan karena kegagalan Darul Islam diseluruh Indonesia, sehingga memaksa orang Aceh lebih realistis untuk mewujudkan cita-cita.
Yang menjadi menarik adalah, GAM yang melanjutkan tradisi perlawanan Aceh, ternyata tidak melanjutkan ideologi Islam yang terlebih dahulu digunakan oleh Darul Islam. Sebagaimana yang disebutkan bahwa GAM lebih memilih nasionalisme Aceh sebagai isu populisnya.
Kemunculan GAM pada masa awalnya langsung mendapat respon oleh pemerintah Orde Baru dengan melakukan operasi militer yang represif, sehingga membuat GAM kurang bisa berkembang. Walau demikian, GAM juga melakukan pelebaran jaringan yang membuat mereka kuat, baik pada tingkat internasional maupun menyatu dengan masyarakat dan GAM bisa terus bertahan.
Pada masa Orde Baru GAM memankan dua wajah; satu wajah perlawanan (dengan pola-pola kekerasan yang dilakukan), dan strategi ekonomi-politik yang dimainkan (dengan mengambil uang pada proyek-proyek pembangunan)
Melihat Peranan Kelompok Sipil
Dalam dinamika konflik Aceh, fase yang menentukan adalah paska kejatuhan Soeharto. Pada fase ini kelompok sipil memainkan peranan yang strategis dalam mengubah paradigma kemerdekaan yang diperjuangkan oleh GAM. Kalau pada masa awal, GAM memahami bahwa kemerdekaan adalah karena tuntutan sejarah, karena Aceh adalah bangsa yang berdaulat sejak dulu. Nah, pada fase ini, kelompok sipil melakukan tranformasi penting, bahwa kemerdekaan adalah tuntutan realistis dari kehidupan berdemokrasi, sehingga muncul tawaran referendum sebagai jalan penyelesaian konflik Aceh.
Tranformasi ini juga yang pada akhirnya membuat perdamaian dapat berjalan secara lebih mulus. Bahwa ketika membangun dialog, yang dibawa adalah ide tentang kehidupan demokrasi yang penuh dialektika, bukan gagasan-gagasan sejarah yang tertutup.
Masa Depan perdamaian
Menjaga perdamaian adalah menjadi hal terpenting pada masa kini. Oleh karenanya membuat reintegrasi dan perbaikan ekonomi menjadi hal mendesak. Menjadi sulit untuk membanyangkan kemungkinan konflik seperti masa lalu (baca: konflik dengan bangunan nasionalisme), sebab konflik membutuhkan ideologi dan pemimpin yang dapat diikuti.
Damai RI-GAM dalam Pendekatan Simbol
Oleh: Novel Ali
PERJANJIAN damai antara pemerintah RI dan GAM, yang ditandatangani di Jenewa (9/12), merupakan hasil kerja keras, baik dalam arti politik, sosial, hukum, militer, maupun simbol. Dalam semua arti atau nilai itu, perjanjian damai tersebut, merupakan salah satu prasyarat mutlak terciptanya rasa aman, tenteram dan damai, bagi penduduk serta kinerja pemerintahan di bumi Nanggroe Aceh Darussalam.
Namun, seberapa besar pun harapan dan keyakinan kita akan kemanfaatan perjanjian damai itu, sederet pertanyaan patut kita ajukan. Terutama di seputar keraguan kita atas segala sesuatu yang mungkin dapat terjadi pascaperjanjian.
Jawaban atas pertanyaan ini, seharusnya tidak sekadar dilakukan secara lisan ataupun tertulis. Apalagi dalam kemasan basa-basi, yang semuanya tidak sanggup direalisasi di lapangan.
Karenanya, perjanjian damai harus dikaji dengan pendekatan simbol. Dengannya, kita bisa berharap mampu memberikan berbagai pertimbangan, kritik atau saran dalam rangka mengimplementasikan kedua belas pokok pikiran yang terkandung, di samping aneka pemikiran lain yang tersirat dalam kesepakatan damai dimaksud.
Dengan pendekatan simbol itu pula, kita mungkin akan mampu memahami berbagai problematika mendasar, yang akan selalu menghantui implementasi perjanjian damai. Terutama dalam tujuan menciptakan perdamaian menyeluruh di Aceh.
Perlawanan Simbol
Pendekatan simbol yang pertama kali perlu kita lakukan, adalah pemberian arti dan makna (simbol) kepada pemerintah RI di satu sisi, dan aktivis GAM di sisi lain, bahwa perjanjian tersebut merupakan kemenangan bagi semua pihak.
Artinya, ditandatanganinya perjanjian berarti baik pemerintah RI maupun GAM, telah mampu menerapkan win-win solution di tengah konflik kepentingan, termasuk konflik bersenjata, sosial, politik, atau lainnya, di antara mereka sendiri.
Dalam hal ini, pemerintah RI dan GAM tidak boleh menepis jasa Hendry Dunant Center (HDC), karena prakarsanya sangat besar manfaatnya hingga ditandatanganinya perjanjian tadi. Dengan demikian, tidak ada satu pihak pun yang boleh merasa menang sendiri.
Karena ekspose simbol kemenangan sepihak di balik perasaan tadi, dapat memotivasi perlawanan simbol pihak lain, yang menganggap peranannya dalam menciptakan perdamaian di Serambi Mekkah, hanya bersifat sublimasi, subordinan, atau sekadar peran nomor dua.
Guna mencegah terjadinya perlawanan simbol dari pihak tertentu, baik dari pemerintah RI, GAM maupun pemrakarsa (HDC), terhadap pihak lain yang merasa menjadi pahlawan, maka semua pihak harus sama-sama melakukan introspeksi atas kebijakan, sikap dan perilaku perorangan, kelompok dan lembaganya, di hari-hari sebelumnya. Di samping atas segala sesuatu berkaitan dengan apa-apa yang boleh, dan sebaliknya tidak boleh, mereka perbuat setelah 9 Desember 2002.
Sekalipun upaya semua itu memerlukan pendekatan multi dan interdisiplin, namun pendekatan simbol merupakan salah satu pendekatan yang tidak bisa dipinggirkan. Sebab, melalui pendekatan simbol, kita berharap mampu memahami masa lalunya pemerintah RI dan GAM, situasi dan kondisi sekarang keduanya, di samping apa-apa yang kita harap eksis, sekaligus bermanfaat bagi keduanya.
Semuanya semata-mata untuk kesejahteraan moril serta material orang Aceh, yang juga bangsa kita sendiri, bangsa Indonesia.
Pendekatan simbol yang akan, dan memang seharusnya kita lakukan, bahwa perjanjian damai tersebut semata-mata demi perbaikan nasib masyarakat Aceh. Kedua belah pihak harus sama-sama menyadari, tanpa penandatanganan perjanjian, maka simbol tersebut akan secara sistematis dan terstruktur membangun watak pribadi yang senantiasa dikooptasi perasaan saling bermusuhan, antara sesama warga bangsa Indonesia, khususnya di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Simbol demikian harus secepatnya ditiadakan. Dengan meniadakan simbol sejenis, semua pihak diharap akan mampu mencegah eksisnya sikap pro pemerintah RI, pro GAM, atau yang abstain, karena berbagai alasan tersendiri.
Disintegrasi Bangsa
Pendekatan simbol lain, yang perlu kita lakukan, adalah pemahaman bahwa perjuangan GAM bukanlah perjuangan dari kelompok separatis di NAD. Ekspose simbol dimaksud, diharap akan mampu menumbuhkan keyakinan mayoritas bangsa Indonesia, termasuk penduduk NAD, bahwa tuntutan dasar GAM bukanlah untuk memisahkan diri dari NKRI, apalagi untuk mendirikan negara (bebas, merdeka) di dalam wilayah NKRI.
Tuntutan GAM, sebaiknya dipahami semua pihak (pemerintah RI dan GAM), sebagai simbol harapan masyarakat Aceh agar kekayaan alam mereka dikembalikan untuk pemiliknya (masyarakat Aceh), dan tidak dikuras habis (terutama bagi kepentingan pemerintah pusat), sebagaimana eksis di era Orde Baru.
Konflik antara pemerintah RI dan GAM, terutama dalam berbagai kemasan simbolnya yang terjadi di Aceh lebih dari 26 tahun terakhir, harus tetap diakui sebagai simbol disintegrasi bangsa. Semua pihak harus mau memahami, sekaligus menelan pil pahit tersebut.
Hanya saja, persoalannya, di balik simbol dimaksud, seharusnya pemerintah RI lebih berjiwa besar mengakui kenyataan, bahwa naik ke permukaannya simbol disintegrasi bangsa di Aceh disebabkan oleh kontraproduktifnya kebijakan pembangunan nasional kita di masa orde lalu. Terutama yang berbasis kepentingan pemerintah pusat, dan bukan kepentingan daerah.
Seperti sudah banyak diketahui, di era Orde Baru, bumi Aceh yang penuh kekayaan alam, seolah hanya diposisikan sebagai simbol kepentingan nasional. Akibatnya, pengelolaan kekayaan Aceh tidak mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh.
Sentralisasi keperkasaan alam Aceh, nyaris tidak diimbangi desentralisasi kepentingan kekuasaan itu sendiri. Akibatnya, Aceh (yang seharusnya kaya), tetap saja miskin.
Sayangnya, pemerintah RI, terutama lewat aparat keamanannya, kemudian melakukan pendekatan simbol yang sama sekali salah, sekaligus berdarah, terhadap warga Aceh yang berupaya menuntut hak-hak kedaerahannya. Dalam pendekatan simbol dimaksud, pemerintah RI seolah merasa berhak melakukan tindakan operasi militer, sebagai salah satu hak pemerintah untuk mempertahankan kedaulatan negaranya.
Simbol Dendam
Kita ingat betul, bagaimana nasib sebagian masyarakat Aceh di masa daerah operasi militer (DOM). Pelanggaran HAM dalam aneka kemasan simbol, menjadi rahasia umum di Serambi Mekkah.
Ribuan orang hilang, atau dihilangkan. Pemerkosaan, perampokan dan aneka simbol kekerasan dan kejahatan lainnya, dituduhkan awam sebagai dilakukan aparat keamanan RI.
Semua itu menimbulkan stigma bagi sebagian masyarakat Aceh, yang mendorong keberanian mereka melakukan perlawanan.
Menurut cerita (simbol), banyak anak Aceh menyaksikan ibunya diperkosa di depan bapaknya.Akibatnya apa? Tertanamlah simbol perlawanan dalam diri anak.
Semua itu, menimbulkan stigma mendalam bagi masyarakat Aceh. Dalam pendekatan simbol, kita bisa memahami betapa tidak mudah masyarakat Aceh melupakannya. Ini mengakibatkan sebagian di antara mereka tidak gampang melenyapkan simbol dendam masa lalu.
Pemerintah RI harus bersedia memahami semua itu. Berbarengan dengannya, pemerintah RI pun wajib melakukan perbaikan pendekatan multi dan interdisiplin, termasuk pendekatan simbol, khususnya pascaditandatanganinya perjanjian damai.
Salah satu pendekatan simbol strategis yang perlu dimantabkan sekarang adalah, sejauhmana akses pemerintah RI tentang otonomi khusus, dengan diberlakukannya UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Sekalipun, khusus dalam konteks ini, mungkin pemerintah RI tidak meraih keuntungan politik sebagai akibat otonomi khusus tadi, namun demi keutuhan NKRI, sekaligus wibawa pemerintah kita sendiri, bukankah kinerja pemerintahan RI tidak seharusnya diukur dari aspek (keuntungan/kepentingan) politik semata?
Itulah sebabnya, mengapa baik pemerintah RI, GAM, atau siapa pun juga, harus mencoba menyikapi fakta pascaperjanjian dengan kesadaran perlunya perbaikan pendekatan masa lalu. (33)
- Novel Ali, staf pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Undip
GERAKAN ACEH MERDEKA (informasi sejarah)
Judul tulisan “GERAKAN ACEH MERDEKA “diatas, saya tambahkan/sisipkan “untold story”, karena yang saya ceritakan ini adalah kisah nyata yang tidak pernah muncul dimedia massa……
Saya tuliskan dalam blog ini dengan nuansa auto bigrafi, pengalaman hidup, sehingga walaupun saya berusaha to tell the truth, only the truth, tapi aroma analisa subyektif saya pribadi, tetap menonjol………
Keputusan pemerintah RI untuk menandatangani MOU dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, telah mengundang pro dan kontra dari seluruh komponen bangsa…..
Pendapat Persatuan Purnawirawan TNI AD, nampak jelas seperti yang terantum didalam Amanat Ketua Umum PPAD Letjen TNI Purnawirawan Suryadi pada HUT ke 4 PPAD tanggal 6 Agustus 2007 yang lalu…
PPAD menilai bahwa penanda tanganan MOU Helsinki merupakan suatu kekeliruan besar/blunder pemerintah RI yang akan menimbulkan efek domino yang akan mengancam integritas NKRI, seperti yang terjadi di Sovyet Uni….
PPAD juga menilai bahwa penanda tanganan tersebut merupakan bukti kelemahan pemerintah RI, tidak sadar terjebak oleh konspirasi internasional dan strategi global pemerintah asing yang berada dibelakang layar, dibelakang Helsinki/Finlandia (…..siapa itu?….., tebak sendiri….!)…….
Nasi telah menjadi bubur, mau apa lagi?…..
PPAD tidak bisa berbuat apa lagi kecuali menghimbau kepada seluruh anak bangsa agar waspada terhadap nasib kelangsungan hidup NKRI….
Kepada komunitas PPAD diseluruh penjuru tanah air dihimbau agar siap berjuang mempertahankan NKRI dengan berbuat yang produktif dan konstruktif yang bisa dilakukan oleh masing masing purnawirawan dengan seluruh jaringan nya……..
Berkaitan dengan uraian diatas, saya ingin cerita sedikit tentang seluk beluk Gerakan Aceh Merdeka sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman saya sebagai pelaku sejarah penumpasan GAM di Aceh Utara dari Tahun 1976-1978……
Pada awal tahun 1976 saya berpangkat Mayor CPM dan mulai bertugas sebagai Komandan Detasemen Polisi Militer ABRI di Korem Lilawangsa - Kodam Iskandar Muda, Propinsi Aceh, yang berkedudukan di Lhokseumawe, Aceh Utara….
Pada tahun yang sama, bulan Desember 1976, Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka di Sigli, Aceh Utara, daerah wewenang penugasan saya……
Dalam Deklarasinya, GAM menyatakan agar Rakyat Aceh harus bergerak melawan penjajahan bangsa Jawa yang telah mengeruk kekayaan alam Negara Aceh….
Realisasi gerakannya adalah melakukan gangguan teror tehadap rakyat Aceh yang pro pemerintah RI dan serangan secara sporadis terhadap orang asing dan instalasi Pertamina PT Arun di sekitar Blang Lancang Aceh Utara, yang sedang membangun pabrik LNG yang terbesar di Indonesia, yang investornya adalah perusahaan minyak dari Amerika Serikat…….
Jumlah mereka saat itu masih sangat sedikit, sekitar 200 orang dengan kekuatan senjata sekitar 100 pucuk….
Untuk menumpas GAM tersebut dan melindungi proyek Vital Pabrik LNG PT Arun tersebut, Kodam Iskandar Muda memerintahkan Danrem Lilawangsa, Kolonel Inf. Teuku Mat Syah Asyik dengan seluruh jajarannya melakukan Operasi Keamanan Dalam Negri ( Opskamdagri )……
Pemerintah Pusat, mengirim bantuan kekuatan berupa satu Tim (Diberi nama Tim Nanggala) pasukan Sandi Yudha (Combat Intelijen) dari Kopasandha/Kopasus Jakarta, berjumlah 90 orang, dipimpin Mayor Inf Sofyan Efendi (keturunan Aceh), satu angkatan dengan saya di AMN ( Lulus 1965)….Pangkat terakhir Letjen TNI, Gubernur Lemhanas….
Dengan bantuan Tim Nanggala tersebut Opskamdagri Korem Lilawangsa Kodam Isakandar Muda Aceh berhasil menumpas habis Gerakan Aceh Merdeka pada akhir tahun 1978……..
Hasan tiro melarikan diri keluar negri…..
Mengapa demikian cepat tuntas?….Ini yang tidak pernah diexpose oleh media massa…..
Karena GAM yang dideklarasikan oleh Hasan Tiro pada Desmber 1976 tersebu, tidak didukung sama sekali oleh pendiri Gerakan Aceh Merdeka yang asli, Panglima Pemberontak DII/TII Teuku Daud Beureuh yang telah mendapat Amnesti oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960 an….
Justru Teuku Daud Beureuh mengutuk GAM yang dideklarasikan Hasan Tiro sebagai suatu tindakan yang harus dilawan oleh rakyat aceh sendiri……Mengapa demikian?….
Teuku Daud Beureuh mengeluarkan statement waktu itu, yang disebar luaskan secara langsung kepada seluruh rakyat Aceh, bahwa Hasan Tiro adalah bekas anak buahnya pada saat pemberontakan DII/TII tahun 1950 an yang dikirim ke Amerika Serikat untuk beli senjata, tapi tidak pernah kembali ke Aceh, kawin dan mendirikan usaha di Amerika, uangnya dihabiskan…
Menurut beliau, Hasan Tiro adalah penghianat perjuangan GAM, penghianat rakyat Aceh, karena itu harus diusir dari tanah Aceh….
Karena itu kelompok Hasan Tiro sebenarnya kelompok oportunis, bukan pejuang rakyat Aceh dan tahun 1978 sudah habis……..
Pertanyaannya sekarang ialah , kalau begitu dengan siapa Pemerintah RI melakukan MOU? Jelas untuk kami pelaku sejarah, Pemerintah RI membuat MOU dengan para oportunis, penghianat rakyat Aceh sendiri…….
Saya secara pribadi sudah melaporkan cerita ini kepada SBY lewat SMS secara panjang lebar agar MOU tersebut tidak ditanda tangani, tapi tidak ditanggapi dan MOU tetap ditanda tangani
Juga timbul pertanyaan, kalau begitu ceritanya, siapa pasukan GAM yang perang dengan TNI sebelum MOU?……..?
Ceritanya jadi panjang….
Selama saya bertugas di Aceh, pemenang Pemilu disana selalu PPP ( Partai Persatuan Pembangunan ), demikian terus sampai sekitar tahun 1983……
Pada tahun 1984, Orde Baru membuat kebijakan Politik untuk mengkuningkan Aceh ( Golkarisasi)..Golkar harus menang di Aceh…….Timbul perlawanan terhadap kebijakan tersebut…..Untuk menindas perlawanan terhadap Golkarisasi, pemerintahRI lewat Pangabnya waktu itu Jendral Beni Murdani, memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer ( DOM )……Mereka yang tidak mau masuk Golkar diintimidasi…akhirnya mereka lari sembunyi kehutan, ketakutan…..
Untuk menyudutkan pelarian tersebut dan menjustifikasi penangkapan terhadap mereka, maka penguasa DOM waktu itu mencap mereka, menyebut mereka dengan sebutan Gerombolan Pengacau Keamanan…..
Lama kelamaan didramatisir seolah olah GPK tersebut mau melakukan pemberontakan bersenjata/makar, kemudan munculah yang disebut Gerakan Aceh Merdeka jilid ke 3….GAM yang diciptakan sendiri oleh pemerintahan Orde Baru…..( Sebenarnya mereka adalah Gerakan Anti Golkar
Karena menurut pemantauan Komite Hak Azasi PBB terjadi pelanggaran Hak Azasi yang sangat berat di Aceh, maka PBB mengeluarkan kecaman terhadap kebijakan politik pemerintahan Orde Baru di Aceh……..
Turunlah berbagai relawan baik dari dalam dan luar negeri, yang pada awalnya murni untuk membela rakyat Aceh untuk melawan kedzaliman Orde Baru…
Kemudian secara terselubung, masuk juga dana asing untuk membantu perjuangan rakyat tertindas, antara lain dari Negara Islam Radikal seperti Libia, Iran , termasuk Malaysia…….
Dengan banyaknya dana dari luar negri, daerah konflik Aceh menjadi surga bagi para broker senjata api, residivis, desertir, militer yang dipecat, bandit, para mafia ganja/narkoba dan oportunis lainnya…….
Maka jadilah GAM jilid ke 4, yang jumlahnya besar, punya jaringan keluar negri, punya dana dan sponsor diluar negri yang signifikan. Belakangan sponsor ini berkembang sampai kepada sang penguasa dunia yang haus minyak Indonesia…tahu siapa bukan?
Apa bargaining power GAM?……tentu saja janji kepada para sponsor bahwa kalau GAM menang, mereka akan memberikan konsesi yang sangat menguntungkan sponsor, terutama……kekayaan minyak dan LNG nya…
GAM Dalam Perspektif Hukum Internasional
"Para pemberontak sebagai kelompok dapat diberikan hak-hak sebagai pihak sedang berperang (belligerent) dalam perselisihannya dengan pemerintah yang sah, meskipun tidak dalam artian organisasi seperti negara." Keputusan House of Lord (1962).
PERMASALAHAN Aceh belakangan ini menjadi diskursus publik di berbagai media massa. Mereka bahkan memaparkannya dalam ikon-ikon tersendiri. Ikon-ikon ini seperti halnya pada kasus penyerangan Amerika Serikat terhadap pemerintahan Saddam Husein di Irak. Eskalasi pemberitaan di berbagai media massa meningkat pesat seiring dengan meningkatnya konflik antara GAM dan TNI yang meningkat ketika pemerintahan Megawati mengeluarkan keputusan untuk menggelar operasi terpadu di wilayah Aceh.
Peperangan antara GAM dan TNI telah berlangsung lebih dari satu bulan. Dari beberapa informasi media massa menunjukkan bahwa perang ini telah menyebabkan kerugian harta benda dan nyawa, baik dari pihak TNI, GAM maupun pihak masyarakat sipil. Perang yang diawali tindakan diskriminatif baik secara ekonomi maupun politik oleh pemerintahan Orde Baru kepada masyarakat Aceh bukanlah fenomena baru dalam tatanan internasional. Padahal, dalam konvensi PBB Pasal 1 ayat 1 secara tegas menolak praktik-praktik diskriminasi. Perang yang dalam klasifikasinya termasuk kategori perang internal ini sebelumnya juga melanda negara-negara di Amerika Latin, khususnya ketika rezim-rezim diktator berkuasa di wilayah tersebut. Gerakan-gerakan yang mereka tempuh biasanya berupa gerakan pembebasan nasional.
Bagi pemerintah yang berkuasa yakni pemerintahan Mega-Hamzah, tindakan GAM tersebut dianggap sebagai usaha memberontak terhadap pemerintahan yang sah dan berdaulat. Pemerintah berpendapat bahwa GAM adalah gerakan separatis bersenjata yang mengancam kedaulatan NKRI dan mengganggu semangat nasionalisme. Di Indonesia sendiri, gerakan pemberontakan semacam ini tidak hanya muncul di Aceh, tetapi juga di Papua, Makassar, dan wilayah lainnya. Gerakan ini marak ketika reformasi digulirkan pada tahun 1998 yang memberikan sedikit angin segar bagi kebebasan berpendapat.
Namun, di antara semua itu, GAM adalah bentuk organisasi pemberontak yang terbesar di wilayah Indonesia dilihat dari beberapa parameter. Pertama, GAM punya struktur pemerintahan sendiri yang tersebar hampir di seluruh wilayah Aceh. Dengan pemerintahan ini, GAM dapat menyelenggarakan kegiatan administrasi dalam interaksi sosial dan hal ini sudah dilaksanakan oleh GAM sehingga terdapat dua administrasi di wilayah Aceh.
Kedua, GAM memiliki angkatan perang yang jumlahnya memadai. Angkatan perang inilah yang kemudian menjalankan fungsi keamanan internal di tingkatan mereka. Kedua faktor inilah yang akhirnya membentuk parameter ketiga yakni otoritas de facto di wilayah Aceh.
Dalam kerangka hukum internasional, organisasi GAM dapat dikategorikan sebagai kelompok pemberontak (belligerent) yang diakui sebagai subjek dari hukum internasional. Subjek hukum internasional adalah kesatuan entitas yang dapat dikenai hak dan kewajiban internasional. Selain kelompok pemberontak, subjek hukum internasional yang cukup penting adalah negara, individu, dan organisasi internasional. Pengakuan GAM sebagai subjek hukum internasional dilihat dari beberapa prinsip penting.
Pertama, kegiatan-kegiatan GAM telah mencapai suatu titik keberhasilan saat mereka dapat menduduki secara efektif dan membentuk otoritas de facto di wilayah Aceh yang sebelumnya dikuasai penuh oleh pemerintah Indonesia. Prinsip ini muncul karena ada pertimbangan negara lain menyangkut kepentingan perlindungan warga negaranya dan perdagangan internasional.
Dalam kondisi ini, negara-negara luar dapat mengambil keputusan untuk mengakui secara de facto kepada GAM terbatas pada wilayah Aceh. Pengakuan seperti ini pernah ditempuh pemerintah Inggris terhadap pihak pemberontak dalam perang saudara di Spanyol tahun 1937. Kedua, peperangan antara pihak GAM dan TNI telah mencapai dimensi tertentu di mana negara luar harus melihatnya sebagai perang sesungguhnya antara dua kekuatan. Konsekuensinya adalah pelaksanaan hukum perang bagi kedua belah pihak. Pengakuan keadaan berperang ini tentu sangat berbeda dari pengakuan pemerintah induk atau pemerintah pemberontak sebagai pemerintah yang sah.
Dalam pengakuan de facto kepada GAM, hanya pemerintah RI yang diakui secara de jure yang dapat mengklaim atas harta benda yang berada di seluruh wilayah RI termasuk Aceh. Selain itu, hanya pemerintah RI yang dapat mewakili negara untuk tujuan suksesi negara dan wakil-wakil dari kelompok GAM yang diakui de facto secara hukum tidak berhak atas imunitas-imunitas dan privilegde-privilegde diplomatik penuh (Starke:1992).
Oleh karenanya, jelas bahwa perang antara GAM dan TNI harus dilihat sebagai peperangan dua pihak yang harus memerhatikan hukum perang. Sebenarnya penyelesaian konflik antara GAM dan TNI dapat ditempuh dengan jalan diplomasi. Hal ini karena dalam perspektif hukum internasional, GAM dapat diakui sebagai kaum belligerent (pemberontak) sehingga mampu menjadi subjek dari hukum internasional. Meskipun pada proses historisnya jalan diplomasi kerap tidak menemukan titik temu, sebagai langkah demokratis, kegagalan tersebut harus saling diintrospeksi satu sama lain. Yang terpenting lagi adalah bagaimana mengikutsertakan perwakilan dari masyarakat sipil sebagai komunitas mayoritas di Aceh dalam setiap meja perundingan.
Sejarah telah membuktikan bahwa cara-cara militeristik tidak mampu menyelesaikan perang. Masih teringat di benak kita bagaimana Orde Baru menggelar DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh sebagai suatu penyelesaian terhadap GAM. Yang terjadi adalah tumbuhnya benih-benih rasialisme yang berkembang hingga saat ini. Mampukah operasi militer menyelesaikan konflik antara GAM dan TNI ataukah justru akan menciptakan konflik yang berkepanjangan? Dialektika sejarahlah yang akan menjawab semua itu. ***
Oleh ENY PRIHATINI, asisten dosen pada jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran.
Pasang Surut Aceh
Oleh: Aboeprijadi Santoso
Aceh mengenal dinamika pasang surut tersendiri. Gigih melawan kolonialisme dan menyumbang kepada perjuangan bangsa Indonesia, sekarang, pertama kali, Aceh bergolak untuk meraih kemerdekaan. Tapi pergolakan itu terjadi justru karena salah kaprah dan kekejaman di Aceh semasa Orde Baru. Aceh menjadi Sri Langka ataukah Irlandia Utara baru?
Takengon, awalnya
Awalnya dari Takengon, Aceh Tengah. Meski pun ketika upaya damai RI-GAM pertama kali diteken, Mei 2000, Wakil RI Hassan Wirayuda berharap "ini awal perjalanan 100 langkah" dan kemudian tercapai pakta yang lebih mantap (CoHA Desember 2002), namun belum lagi "100 langkah", awal Maret 2003, ratusan milisi sudah digerakkan dari Takengon.
Sejak itu, tim monitor internasional hengkang dan proses damai merosot hebat. Setiap jeda dan gencatan, kedua pihak melanggarnya. Tetapi, kali ini, persiapan perang dan ultimatum Jakarta membuat babak final di Tokio sia sia, sementara pihak GAM mau meninggalkan perjuangan bersenjata, tapi tak mau eksplisit menerima otonomi. Yang terakhir inilah yang menjadi break point di Tokio. Maka pembicaraan final di Tokio pada 17 & 18 Mei 2003 itu cuma menjadi panggung saja untuk berbasa-basi unjuk itikad damai di muka para donor ketika proses damai itu sendiri, di lapangan, sudah buyar.
Walhasil, pada 19 Mei 2003 pukul 00.00, di Jakarta diumumkanlah Darurat Militer, berdasarkan Keppres No. 28, Tahun 2003, yang mengawali perang yang justru tak akan membawa solusi.
Fait accompli militer memblokir solusi damai. Amerika juga begitu dalam soal Irak. Dan dalam kasus Timor Timur itu juga terjadi. Ketika Menlu Adam Malik, kepada J. Ramos-Horta, pada pertengahan 1974, mengakui hak penentuan nasib sendiri Timtim, Opsus-nya Jenderal Ali Moertopo sudah menyiapkan agresi. Ujung-ujungnya, kita terjebak rawa-rawa Timtim selama 24 tahun.
Kisah Aceh
Aceh adalah kisah panjang yang pasang surut dengan tiga kecenderungan: loyal, diam atau tiarap, dan berontak. Ketika kawasan guncang atau dominasi pusat redup, Aceh akan berontak demi Aceh.
Akhir abad ke XIX, ketika Inggris dan Belanda berebut Selat Malaka, Aceh bergolak. Atjeh Oorlog (Perang Aceh 1873-1913) yang memerangi Kesultanan Aceh menjadi perang terpanjang Belanda, yang resminya tak berkesudahan karena Aceh menggabung ke dalam perjuangan RI. Belanda bertekad menguasai Aceh dalam rangka mengukuhkan posisi Belanda sebagai adikuasa kawasan abad XIX. Belakangan, Snouck Hourgronje, pakar Islam yang menjadi penasehat Gubernur Jenderal Belanda, mencap pemberontak Aceh sebagai "fanatik" dan "gila". Ketika Jepang kalah, Belanda ogah menguasai Aceh.
Saat Republik Indonesia masih muda dan lemah, Aceh kembali berontak di bawah Daud Beureueh. Pemberontakan Darul Islam, dengan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) ini masih bertolak dari kebangsaan Indonesia, namun mengedepankan warna Islam.
Kemudian, di puncak kejayaan Orde Baru, 1980an, Aceh kembali loyal, GAM yang lahir 1976, tiarap, dan Gubernur Ibrahim Hasan mengundang Operasi Jaring Merah TNI, yang biasa disebut sebagai "DOM" (Daerah Operasi Militer), 1989-1998.
James Siegel dalam "The Rope of God" (1969) melukiskan Aceh sepanjang 1950-1960an sebagai dinamika kaum ulama ketika "Tali Ilahi" menjadi panutan umat. Tetapi tiga dasawarsa Orde Baru - peluang pendidikan yang meningkat, minyak, gas bumi dan ganja yang memikat, terutama tragedi perang kotor DOM - mengubah hampir segalanya. Walhasil, ketika Soeharto mundur dan momentum baru bergulir di Aceh, para korban DOM jadi gerilyawan dan Inong Balee (gerilyawati) dan kader-kader GAM jebolan Libia pulang. Berkat DOM-nya tentara Indonesia, maka reformasi dan eksodus-mudik kedua (yang pertama tahun 1989) itu menggoyang bandul Aceh dan GAM malah maju pesat, terutama semasa 1997-2000.
Titik balik bagi GAM
Sejak 2001, Aceh merupakan daerah konflik paling mencemaskan Jakarta. Kemelut Aceh bermula tepat dengan krisis regional dan jatuhnya Soeharto 1998. Pemberontakan GAM sempat tiarap sampai akhir 1980an. Kembalinya kader-kader GAM dari pelatihan militer pada 1989 mengawali kebangkitan GAM, yang kemudian dihajar dengan kekejaman tak terperikan selama "Operasi Jaring Merah" yang disebut DOM (Daerah Operasi Militer), dari 1989 sampai 1998.
Sekitar 10 sampai 12 ribu korban tewas di masa itu. Berkat operasi inilah, GAM yang semula dibenci rakyat mengalami titik balik, dan menjadi populer terutama di pedesaan dan di Pidie dan umumnya sepanjang pantai Timur.
Kasus Aceh membuktikan bahwa TNI yang berpretensi sebagai kekuatan pemersatu Indonesia, telah berhasil menjadi sumber disintegasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berkat ulah TNI, GAM maju pesat. Ini muncul di permukaan saat momentum reformasi 1998 bergulir ke Aceh. Peluang pendidikan yang meningkat, perluasan industri minyak dan gas bumi serta meningkatnya perdagangan ganja, semasa Orde Baru - semua itu membuat Aceh menjadi daerah konflik yang paling memikat kepentingan kepentingan elite politik di Jakarta dan Aceh.
Gelombang kedua eksodus mudik para kader GAM dari Libia lewat Malaysia sejak 1997 memanfaatkan momentum reformasi, diperkuat oleh bebasnya kader-kader GAM dari tahanan semasa pemerintahan Habibie. DOM dihentikan, namun sakit hati dan dendam, terutama terhadap TNI, telah mendalam dan meluas di Aceh.
Pola Orde Baru diteruskan
Salah kaprah Orde Baru diwarisi dan diteruskan oleh rezim-rezim penggantinya dengan pemerasan, korupsi dan kekerasan militer di tingkat lokal. Senjata diselundupkan dari Jakarta dan kabarnya dijual oleh oknum oknum TNI sendiri kepada GAM. Pemerasan lokal meluas, baik oleh oknum TNI maupun GAM, di tingkat bawah, terhadap rakyat dan terhadap bus-bus di jalanan dan di tingkat atas, terhadap instansi- instansi pemerintah, bank dsb di Banda Aceh. Semua itu, ditambah dengan bisnis ganja, sejak reformasi membentuk pola yang melanggengkan kekerasan.
Akibatnya, yang terjadi bukan "sustainable development", melainkan "sustainable violence". GAM berpretensi berhak menarik "pajak perjuangan" (pajak Nanggroe) dengan "mengutip" penghasilan rakyat, dan unsur unsur aparat melakukan yang sama "demi survival". Semua itu terlindung karena Jakarta juga berkepentingan menjaga Aceh dengan industri Exxon-Mobile dan gas Arun yang merupakan kepentingan nasional sekaligus sumber pendapatan tambahan bagi aparat yang bertugas. Dengan demikian, konflik dan perang di Aceh berkepanjangan berkat pihak-pihak yang bertikai sendiri.
CoHA
Akhirnya, konflik Aceh mengancam Jakarta sendiri. Pemerintahan Megawati menempatkan Aceh pada prioritas utama. Keppres April 2001 di bawah Presiden Abdurrahman Wahid membuka pintu pertama bagi operasi militer. Upaya "Jeda Kemanusiaan" sejak Mei 2000 macet di lapangan, dan Gus Dur terlanjur melibatkan sebuah LSM asing, HDC, Henry Dunant Center. Awal 2002 Jakarta bemaksud melibas GAM, tapi kemudian menempuh strategi politik dan diplomasi. Bank Dunia, Amerika Serikat dan Jepang dilibatkan melalui persiapan konferensi donor Tokyo. Pertama kali tercapai suatu kesepakatan yang mantap dan rinci: Persetujuan Penghentian Permusuhan atau CoHA (Cessation of Hostility Agreement), yang ditandatangani RI dan GAM pada 9 Desember 2003 di Jenewa.
Menurut rencana CoHA, dua bulan pertama merupakan sosialisasi CoHA yang harus membangun saling percaya, disusul demilitarisasi mulai Februari sampai Juli 2003, dan kemudian proses dialog menyeluruh tentang otonomi NAD, disusul dengan pemilu Aceh. Dua bulan pertama CoHA, yaitu Desember dan Januari merupakan sebuah sukses yang disambut hangat rakyat Aceh, tetapi sukses itu pendek saja.
Kedua pihak melakukan pelanggaran gencatan. TNI tidak merelokasi pasukan, Brimob tidak mengubah posisi, singkatnya aparat RI tidak berubah dari kekuatan ofensif menjadi defensif, sedangkan GAM juga belum memulai peletakan senjata. Selain itu, GAM berkampanye "kemerdekaan tinggal sebatang rokok lagi" dan Jakarta gagal menghentikan sumber penghasilan "pajak" GAM.
Garis keras TNI tak sabar lagi: Perang Aceh
Akhir Februari, 50an jenderal Angkatan Darat, termasuk seluruh Panglima Kodam, dipimpin KSAD Jenderal Ryamirzad Ryacudu, menggelar rapat Angkatan Darat di Lhokseumawe, Aceh Utara. Suatu provokasi yang mengisyaratkan ketidaksabaran garis keras TNI. Awal Maret ratusan milisi bergerak dari Takengon, Aceh Tengah, membakar gedung tim monitor asing yang memantau gencatan, sehingga mereka akhirnya hengkang. Sejak itu, proses damai CoHA merosot hebat. Jakarta minta sidang 25 April di Jenewa, tapi GAM menolak tanggal tsb.
Sementara itu persiapan perang ditingkatkan dan pemerintah Jakarta datang ke pembicaraan final di Tokyo dengan ultimatum: GAM harus menerima NKRI, meletakkan senjata dan menerima otonomi khusus. GAM bersedia meletakkan senjata, tetapi tak mau secara ekplisit menerima otonomi dan NKRI. Eskalasi persiapan perang sudah amat meluas dan menjadi fait accompli yang memaksa pembicaraan Tokyo, mau tak mau, gagal.
"Take the guns out of politics" adalah inti konsensus antara RI, GAM, empat tokoh Bijak Bestari di balik Henry Dunant Center dan para donor internasional yang melandasi Perjanjian CoHA. Pesan itu masih dan hanya berharga sebagai kunci solusi damai jika TNI bersedia menghentikan perang, GAM mau menjadi partai politik dan ada sanksi di tangan mediator yang berwibawa. Kekerasan militer tak akan membawa solusi.
Perang di Serambi Mekkah telah mencatat sejumlah musibah: musibah kemanusiaan, musibah HAM dan ancaman terhadap hak-hak sipil warga Aceh.
Kejahatan HAM terhadap sipil
Sampai awal minggu ketiga perang ini, menurut badan PBB untuk dana kanak-kanak UNICEF, sebanyak 437 gedung sekolah musnah dibakar orang orang tak dikenal. Diduga sekitar 60 ribuan anak didik terlantar. Tak kurang dari 17 ribu jiwa telah mengungsi menurut angka resmi Departemen Sosial di Jakarta. Angka tsb hanya mencakup para pengungsi di dalam wilayah NAD (Nanggroe Aceh Darussalam). Di sejumlah tempat, terutama di Bieureun, tapi juga di kabupaten-kabupaten lain, terjadi kejahatan HAM terhadap penduduk sipil. Pihak TNI mengklaim lebih dari 100 anggota Gerakan Aceh Merdeka GAM tewas dan puluhan ditangkap. Tetapi, di dalamnya termasuk belasan pemuda, juga yang berusia 11 dan 13 tahun tewas yang diklaim sebagai anggota GAM.
Menyusul semua itu, sekitar 60an aktivis dinyatakan sebagai tersangka oleh PDMD (Penguasa Darurat Militer Daerah); sejumlah organisasi LSM, seperti SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) dan SMUR, sedangkan kantor Kontras di Banda Aceh ditutup. Bekas aktivis LBH Banda Aceh diburu, demikian juga aktivis FPDRAA, sementara aktivis perempuan dari LSM Srikandi Aceh, Cut Nur Asikin, ditahan seperti juga lima wakil dan perunding GAM.
Aceh = konsolidasi Orde Baru II
Akhirnya, penguasa Darurat Militer Aceh dan Menko Kesra Yusuf Kalla mengumumkan LSM LSM asing dilarang giat di Aceh dan bantuan-bantuan diminta disalurkan melalui PMI (Palang Merah Indonesia). LSM-LSM asing, termasuk LSM bantuan, tidak lagi diinginkan. Yang juga mencemaskan, warga Aceh di luar wilayah Aceh diintai dan dicurigai, di Jakarta, mereka dicatat seolah-olah dianggap semua terjangkit virus GAM.
Tampaknya, seperti tragedi 1965-1966 mengawali Orde Baru Soeharto, kemelut Aceh sebenarnya berfungsi mengkonsolidasi Orde Baru II tanpa Soeharto. Merosotnya bintang ABRI sejak jatuhnya Soeharto pada 1998, telah dikoreksi semasa pemerintahan Megawati; penambahan, pemulihan dan penguatan struktur teritorial (komando militer sampai desa) telah dikonsolidasi.
Sekarang, perlunya dan faedahnya semua itu hendak dibuktikan melalui upaya memerangi separatisme di Aceh.
Aceh bisa jadi rawa-rawa baru Jakarta
Perang Aceh akan menjadi kuda bagi TNI untuk memulihkan pamornya, karena opini publik dan elite Jakarta hampir seluruhnya mendukung operasi militer di Aceh. Megawati dan PDI-Pnya juga akan beruntung dan siap memasuki pemilu 2004 dengan kemenangan Aceh di kantong, meskipun sekaligus berarti Megawati disandera elite TNI.
Tetapi pengalaman di Timor Timur menunjukkan aparat TNI tak mampu menjalankan perang yang profesional, dan konflik Aceh tak akan terselesaikan melalui jalan militer. Bukannya menjadi bintang baru, Megawati dan TNI, akibat perang yang akan berkepanjangan di Aceh, malah akan berhutang makin besar terhadap Indonesia, kalau pun tidak terjebak sebuah rawa-rawa baru semacam Timtim dahulu.
Problem Aceh :
Menutup Aib Dengan Darurat Militer #)
Daniel Hutagalung
Tanggal 19 Mei 2003, Presiden RI mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.28 tahun 2003 tentang pemberlakuan status daerah militer di propinsi NAD. Dasar-dasar yang menjadi pertimbangan penerapan Keppres tersebut adalah: pertama kegagalan dialog damai antara Pemerintah dengan GAM; dan kedua meningkatnya tindakan kekerasan bersenjata oleh GAM yang dinilai mengarah kepada bahaya terorisme (Lihat Keppres No.28/2003). Pertanyaannya kemudian apakah opsi darurat militer akan menyelesaikan persoalan Aceh? Apakah rasionalitas dari pengambilan kebijakan tersebut? Tulisan ini mencoba untuk berpijak pada dua pertanyaan tersebut, dan menganalisis dalam konteks sejarah dan analisis politik hubungan ekonomi-politik antara Pemerintah RI dan Aceh sebagai sebuah entitas politik.
Hubungan Politik Aceh-Pusat: Dari Kolonialisme Sampai Republik
Dari abad 15 sampai 18, Kerajaan Aceh merupakan kerajaan yang mempunyai kekuasaan politik dan ekonomi di wilayah tersebut. Kekuasaan Portugis di Semenanjung Malaya berhasil diambil alih, dan kemudian kekuasaan Kerajaan Aceh menguasai sampai wilayah Pariaman di Sumatera Barat. Kekuasaan atas wilayah inilah yang kemudian menghantarkan Aceh berperang melawan Kerajaan Belanda yang ingin merebut wilayah perdagangan yang berada di bawah kontrol Kerajaan Aceh. Perang untuk merebutkan wilayah tersebut berlangsung selama 40 tahun, di mana Aceh akhirnya dinyatakan “kalah”. Meskipun demikian, kekuasaan kolonialisme Belanda hanya berpengaruh di Banda Aceh dan kota pelabuhan Lhokseumawe, sementara di wilayah-wilayah lainnya terus mendapatkan perlawanan sporadis para pejuang-pejuang Aceh.
Jatuhnya Jepang membawa ulama-ulama Aceh yang terhimpun dalam PUSA mengambil kontrol atas administrasi sipil, ekonomi dan angkatan perang. Usaha Belanda untuk kembali menguasai Hindia Belanda tidak sampai menduduki Aceh dan hanya berpusat di Jawa dan Irian Barat. Dalam periode ini Aceh secara otonom mengendalikan sendiri pemerintahannya, dan bahkan memberikan dukungan penuh terhadap perjuangan revolusi nasional melawan Belanda. Namun setelah kekuasaan Belanda barakhir, pemerintahan Soekarno memangkas otoritas politik pemerintahan lokal di Aceh, sehingga melahirkan perlawanan ulama-ulama Aceh di bawah kepemimpinan Teungku Daud Beureuh. Negosisasi yang panjang yang kemudian berhasil mengehentikan perlawanan masyarakat Aceh, dan memberikan Aceh otonomi khusus untuk menyelenggarakan hukum adat, keagamaan dan pendidikan.
Hubungan Politik Aceh-Pusat: Konteks Orde Baru
Tradisi hubungan politik yang selalu buruk antara Aceh dengan pemerintahan di pusat berlanjut pada pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto. Orde Baru memaknai Aceh sebagai sebuah sumber ekonomi yang besar, dan menempatkannya dalam narasi pembangunan (ekonomi) yang dikonstruksi Orde Baru dalam mendekonstruksi narasi “politik sebagai panglima” yang dikonstruksi Soekarno. Orde Baru mengkonstruksi narasi pembangunan yang berpondasikan pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Narasi ini mengubah tatanan politik dan ekonomi di wilayah Aceh. Kepemimpinan ulama PUSA yang dominan di masa pemerintahan Soekarno perlahan digantikan oleh kelompok teknokrat hasil pendidikan sekuler dalam menempati posisis-posisi dalam birokrasi sipil sebagai elit-elit baru di Aceh. Pada sisi lain stabilitas politik dijaga dengan membangun kekuasaan teritorial angkatan bersenjata di seluruh Indonesia dalam bentuk Kodam-Kodim-Koramil. Bahkan kemudian organisasi PUSA yang politis diintegrasikan ke dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang berorientasi hanya pada kegiatan keagamaan.
Narasi pembangunan Orde Baru ini diusung oleh agen-agennya yakni kaum teknokrat yang membawa “ide-ide untuk mencapai kemajuan” dalam bidang ekonomi. Kekayaan alam di Aceh kemudian dieksploitasi dalam konteks narasi pembangunan. Berbagai pabrik didirikan seperti pabirik LNG dan Pupuk Iskandar Muda. Produk LNG misalnya di awal tahun 1990-an mencapai 40% dari seluruh produksi dunia (Financial Times, 22 March 1991), yang menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor LNG terbesar di dunia. Tahun 1991 hampir 90% hasil pupuk Aceh diekspor (Kompas, 6 Januari 1992). Kontrol atas semua hasil-hasil ekonomi dipusatkan di bawah kekuasaan pemerintah pusat (baca: Jakarta), konsentrasi kekuasaan dan otoritas yang terpusat di Jakarta terhadap berbagai kebijakan dalam bidang industri, keuntungan ekonomi, dan agen-agen birokrasi, serta lisensi-lisensi bagi proyek industri baru sangat ditentukan oleh Jakarta. Pada sisi lain pembangunan di Aceh tidak mengalami kemajuan signifikan, jika dibandingkan dengan keuntungan ekonomi yang dihasilkan oleh wilayah tersebut.
Untuk menjaga berlangsungnya proses eksploitasi ekonomi ini, Orde Baru menempatkan militer sebagai penjaga stabilitas ekonomi-politik, serta memangkas otoritas pemerintah lokal. Jabatan-jabatan politik lokal seperti Gubernur dan Bupati sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah pusat. Sentralisasi kekuasaan dan absennya otoritas wilayah ini yang kemudian menjadi alasan lahirnya perlawanan dari sekelompok masyarakat yang menamakan dirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di bawah kepemimpinan Hasan di Tiro pada tahun 1976. Dalam konteks politik dan ekonomi; eksploitasi kekayaan Aceh bagi kepentingan elit politik Jakarta, hilangnya otoritas lokal bagi kontrol atas politik dan ekonomi Aceh, serta reduksifikasi kultur Aceh (yang Islamis) ke dalam kultur Jawa (yang sekuler) merupakan discourse yang dikonstruksi sebagai narasi untuk menandingi narasi Orde Baru.
Sentralisme kekuasaan dan eksploitasi ekonomi, hilangnya secara perlahan kultur Aceh yang Islami, serta absennya otoritas lokal, merupakan narasi partikular yang dikonstruksi dan dikembangkan oleh GAM. Narasi partikular ini melihat Aceh sebagai wilayah yang teralienasi dari proyek “menjadi Indonesia” yang pada awalnya didirikan secara bersama-sama. Narasi ini kemudian dikonstruksi dan berkembang menandingi narasi pembangunan Orde Baru. Narasi ini melahirkan bentuk-bentuk perlawanan dengan ide dasar bagi gerakan untuk memerdekakan dan memisahkan dari republik, karena republik dinilai tidak mampu memenuhi janji dari kontrak pendirian republik. Aksi-aksi bersenjata kemudian dilakukan untuk mendukung narasi partikular yang perlahan mulai menempati ruang-ruang yang sebelumnya dipenuhi oleh narasi pembangunan Orde Baru. Peningkatan aktivitas bersenjata berupa penyerangan terhadap kantor-kantor perusahaan besar atau kantor-kantor polisi dan instansi militer, serta kontak senjata dengan aparat militer, melahirkan tindakan counter-insurgency yang dahsyat dari pemerintah Orde Baru. Dalam rangka mempertahankan narasi pembangunan, pemerintahan Soeharto pada tahun 1989 melakukan operasi militer, yang berkembang dengan penetapan dan penerapan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dalam rangka menumpas gerakan separatisme GAM. Sepanjang sembilan tahun (1989-1998) diberlakukannya DOM, ribuan korban masyarakat sipil tewas, hilang, mengalami perkosaan dan pelecehan seksual, atau mengalami penyiksaan yang meninggalkan trauma yang mendalam.
Politik Pasca- Otoriterianisme: Operasi Militer Sebagai Panglima
Perubahan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak luas bagi konstelasi politik lokal. Peran militer yang begitu dominan dalam politik menjadi sorotan, dan kemudian dalam beberapa hal dikurangi. Perubahan ini juga berdampak terhadap Aceh. Status DOM dicabut, dan kasus-kasus pelanggaran HAM mulai diungkap kepada publik sebagai bagian dari kejahatan politik dan kemanusiaan dari pemerintahan Orde Baru. Sebuah landasan tuntutan baru muncul, yakni bagaimana keadilan terhadap korban dan pelaku kejahatan pelanggaran hak asasi manusia selama DOM dilaksanakan. Korban mendapatkan proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang layak, dan pelaku dibawa ke depan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan kejahatan HAM yang telah dilakukannya selama operasi militer masa DOM dan pasca DOM. Namun pengakuan pemerintah atas terjadinya pelanggaran berat pasca DOM tidak ditindaklanjuti oleh proses hukum (pro-justitia), bahkan tidak merubah tatanan politik di Aceh. Pemerintahan pasca Soeharto kembali melanjutkan watak dan perilaku rejim Orde Baru dalam wajah pemerintah lokal di Aceh di mana korupsi, kolusi, nepotisme dan wajah militeristik masih tetap dipertahankan.
Beberapa pelanggaran HAM skala berat justru berlangsung pada masa sesudah dicabutnya DOM dan digantikan oleh beberapa operasi militer seperti Operasi Sadar Wibawa, Operasi Sadar Rencong I, II, III, Operasi Meunasah, Operasi Pemulihan Keamanan, seperti Peristiwa Idi Cut (Aceh Timur), Tragedi Beutong Ateuh (Tengku Bantaqiah), Tragedi Simpang KKA, Peristiwa Gedung KNPI, dll. Dalam Kasus peradilan koneksitas kasus Beutong Ateuh (Tengku Bantaqiah) dan Peristiwa Gedung KNPI keputusan pengadilan dirasa tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, karena vonis yang dijatuhkan hakim sangat ringan dibandingkan dengan jumlah korban jiwa yang jatuh dalam dua peristiwa tersebut. Dari berbagai hasil laporan investigasi dapat dikalkulasikan bahwa dari bulan Januari 1999 sampai September 2002 tercatat: pembunuhan di luar proses hukum sebanyak 2058 korban, penghilangan paksa 533 korban, penyiksaan 2946 korban dan penahanan sewenang-wenang 1600 korban! Jumlah korban yang sangat spektakuler dalam 3 tahun 8 bulan!
Pemerintahan Abdurrahman Wahid kemudian mencoba untuk mencari solusi damai bagi penyelesaian Aceh. Salah satunya adalah dengan mengadakan kesepakatan Jeda Kemanusiaan antara TNI dan GAM, namun kesepakatan ini tidak berjalan efektif dan skala kekerasan dan konflik bersenjata terus meningkat. Dalam manghadapi situasi ini Presiden Abdurrahman Wahid kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.4 Tahun 2001 yang isinya antara lain melakukan langkah-langkah komprehensif di bidang ekonomi, politik, sosial, hukum, ketertiban masyarakat, keamanan serta informasi dan komunikasi (Lihat Inpres No.4/2001). Untuk sektor keamanan dan ketertiban Inpres ini memberikan wewenang penuh kepada Kepolisian RI sebagai pemegang komando bagi pemulihan proses keamanan di Aceh. Selain itu untuk mengakomodasi problem ketimpangan sosial-ekonomi dan otonomi politik, Presiden Wahid mengeluarkan Undang-Undang No.18/2001 tentang Otonomi Khusus NAD yang dijalankan pada pemerintahan Megawati.
Meskipun demikian, persoalan keadilan hukum yang belum dilaksanakan, serta proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang kurang dijalankan oleh pemerintah RI terus melahirkan tuntutan dan perlawanan masyarakat sipil Aceh. Masyarakat sipil Aceh menciptakan landasan baru bagi dasar perjuangan mereka, yakni pencarian keadilan bagi para korban pelanggaran HAM di masa lalu. Landasan baru ini diidentifikasikan sebagai “luka hati rakyat Aceh”, di mana harga diri, hak dan martabat rakyat Aceh selama ini diinjak-injak. Landasan tuntutan baru ini muncul dari gerakan masyarakat sipil di luar GAM seperti NGO, mahasiswa, aktivis perempuan, aktivis politik lokal Aceh, dll. Landasan baru ini melengkapi landasan absennya otoritas politik dan perampasan kekayaan ekonomi Aceh yang menjadi narasi GAM, dan menjadi satu kesatuan narasi partikular yang muncul sebagai narasi perlawanan terhadap narasi besar yang dikonstruksi Orde Baru dan rejim-rejim sesudahnya.
Narasi partikular yang dikonstruksi masyarakat Aceh mengemuka ini menjadi narasi yang lebih universal yang berujung pada tuntutan diadakannya referendum, di mana aksi menuntut diadakannya referendum diikuti sekitar dua juta warga Aceh menjadi wacana hegemonik, menandingi wacana otonomi yang dikonstruksi pemerintahan pasca Suharto. GAM dan gerakan resistensi masyarakat semakin meluas yang membongkar narasi yang dikonstruksi Orde Baru dan rejim-rejim sesudahnya, yang berujung pada ditandatanginya kesepakat damai Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) tanggal 9 Desember 2002, untuk menghentikan meruncingnya kontak senjata antara GAM dengan TNI, dan semakin banyaknya jatuh korban masyarakat sipil.
Darurat Militer: Cara Baru Melepaskan Tanggung Jawab Politik
Dari keseluruhan pemaparan Aceh dalam berbagai konteks dalam perspektif historis, sebuah benang merah bisa ditarik untuk melihat bagaimana konflik Aceh saat ini terus berkepanjangan, seakan-akan tidak menemui titik akhir yang diharapkan. Pemerintahan Orde Baru kembali melakukan hal yang sama, yaitu memangkas otoritas politik lokal Aceh, sekaligus mengambil kekayaan alam tanpa memberikan distribusi yang adil, sekaligus melakukan represi yang berlebihan potensi resistensi yang muncul dari masyarakat dengan menerapkan status DOM sehingga mengakibatkan banyaknya jatuh korban jiwa maupun trauma berkepanjangan yang dialami masyarakat Aceh. Kondisi ini melahirkan gerakan perlawanan baru yang dipimpin Hasan Tiro, dan terus berlangsung sampai saat ini di mana darurat militer diberlakukan di Aceh.
Apa yang bisa dilihat dari keseluruhan konteks ini? Satu hal yang bisa dilihat bahwa wilayah Aceh secara historis memiliki otoritas politik yang kuat terhadap wilayahnya sendiri, setiap usaha yang berusaha memangkasnya akan selalu menghadapi perlawanan yang kuat. Ini bisa dilihat bahwa persoalan ketidak adilan ekonomi, absennya otoritas politik lokal, tingginya tindak pelanggaran HAM, terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia di bawah pemerintahan Soekarno maupun Orde Baru, namun di Aceh gerakan resistensi terhadap hal tersebut tumbuh paling kuat dan signifikan. Semasa pemerintahan Soekarno perlawanan daerah bermunculan di Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera, hanya tidak ada gerakan perlawanan yang muncul sekuat di Aceh. Demikian juga pada masa Orde Baru, masyarakat Aceh kembali melakukan gerakan resistensi yang kuat pada saat otoritas politik dan ekonomi lokal dipangkas dan dirampas. Artinya bercermin pada konteks-konteks sebelumnya maka bisa disimpulkan bahwa penetapan darurat militer merupakan jalan paling tidak populer dan tidak akan menyelesaikan masalah Aceh.
Dalam menghadapi persoalan Aceh ini pemerintah hanya menempatkan GAM sebagai faktor tunggal dan bukannya melihat kembali pada kesalahan-kesalahan kebijakan yang selama ini diambil dan dijalankan. Penyerdehanaan masalah oleh Pemerintah RI hanya dengan menempatkan GAM sebagai faktor tunggal bisa disimpulkan bahwa Pemerintah RI berusaha melepaskan tanggungjawanya atas kesalahan-kesalahan politiknya dalam menghadapi persoalan Aceh selama ini, dan untuk menutupi semua aib berupa ketidakbecusan kebijakan yang tidak pada tempatnya, kebobrokoan pemerintah daerah Aceh, pengabaian atas kejahatan HAM yang dilakukan aparat negara, ketidakadilan distribusi ekonomi, kegagalan pemenuhan rasa keadilan hukum masyarakat maka pemerintah mengambil jalan pintas: darurat militer!
Di satu salah satu sisi misalnya pelaksanaan pemerintahan daerah jelas terlihat kebobrokan yang mencolok, terutama dalam hal penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Dalam tabloid anti-korupsi Lacak, dipaparkan 50 penyalahgunaan wewenang Pemda Aceh (dalam hal ini Gubernur Abdullah Puteh) berupa mark-up, tender proyek yang tidak transparan, dan defisit anggaran tahun 2003 sampai Rp.85 milyar (Lacak No. 4, Th.I, Mei 2003, hlm. 4-5), belum lagi menguapnya dana pendidikan yang dialokasikan semenjak tahun 2000 tanpa adanya laporan dan alokasi yang jelas (Lacak No.4, Th.I, Mei 2003, hlm.7). Di sisi lain keboborokan ini tidak diikuti dengan tindakan politik berupa pembersihan aparat pemerintah lokal yang gagal mempertanggungjawabkan hasil kerjanya, melainkan membiarkan keboborokan itu menyebar dan meluas. Hampir tidak ada instropeksi dan evaluasi atas berbagai tindakan penyimpangan tersebut, dan tetap berkutat dan bergelut hanya pada “bahaya ancaman GAM” semata.
Ketidakmampuan pemerintah lokal untuk menciptakan ruang yang lebih luas bagi partisipasi masyarakat sipil, juga bagi rehabilitasi dan restrukturisasi serta ketidakmampuan pemerintah pusat untuk memberikan keadilan hukum bagi ketidakadilan yang selama ini terjadi terhadap masyarakat Aceh, merupakan dasar bagi pemerintah untuk menutupi semua kesalahannya dengan menempatkan GAM sebagai faktor utama masalah di Aceh. Jika ini yang terjadi maka jelas nampak di depan kita bahwa Pemerintah RI akan menutupi ketidakmampuannya dengan menciptakan kesalahan-kesalahan baru, dan semakin menumpuknya kesalahan-kesalahan politik yang akan dibuat pemerintah, akan semakin menempatkan Aceh sebagai wilayah yang teralienasi, dan akan semakin melahirkan persoalan-persoalan baru yang lebih laten, yaitu semakin membesarnya gerakan resistensi dan separatisme terhadap pemerintah pusat dan pemerintahan republik. Dan jika ini yang terjadi maka korban jiwa di kalangan sipil akan jatuh sangat banyak, karena pemerintah tidak mampu menyelesaikan masalah demi masalah, melainkan justru menciptakan masalah-masalah baru, melalui operasi-operasi militer dan darurat militer. Sampai tulisan ini dibuat sejumlah korban telah jatuh selama dua (2) bulan setelah diberlakukannya darurat militer:
Jenis Kasus dan Jumlah Korban 19 Mei s/d 27 Juli 2003 Di luar tanggal 1 s/d 30 Juli 2003 | ||||
Pembunuhan | Perkosaan | Penghilangan | Penyiksaan | Penangkapan |
266 | 5 | 23 | 122 | 112 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Memberikan Komentar