Bila berbicara mengenai feminisme erat kaitannya dengan keberadaan perempuan. Dalam Hal ini feminisme identik dengan gerakan untuk memperjuangkan kesamaan hak, keseteraan dan keadilan perempuan sederajat dengan pria. Menurut Yubahar Ilyas, feminisme adalah kesadaran akan ketidakadilan jender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat, sertatindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut[1]. Munculnya gerakan feminisme sendiri terilhami oleh teori konflik Marx dan Engels dimana asal mula penindasan perempuan karena adanya sistem kapitalis.
Di dalam susunan keluarga terdapat sistem hirarkis yang begitu nampak dimana meletakkan pria diumpakam sebagai kaum borjuis dan perempuan sebagai proletar. Pria selalu berperan sebagai kepala keluarga yang mengurusi wilayah “publik”, sementara perempuan hanya bertugas mengurusi permasalahan “domestik” seperti pekerjaan dapur, rumah tangga, dan utamanya adalah melayani suami. Hubungan yang tercipta nampak seperti hubungan yang bersifat eksploitasi yang dilakukan pihak pria terhadap perempuan.
Hadirnya feminisme dipengaruhi dengan adanya revolusi industri dan modernisasi. Dengan adanya kemajuan dari ilmu pengetahuan dan tekhnologi telah memberi kesempatan bagi perempuan untuk menunjukkan eksistensi diluar wilayah “domestik”. Sejarah Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannyadengan kelahiran Era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Kemudian pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869)[2]. Seiring dengan adanya globalisasi dan gelombang demokratisasi maka gerakan feminisme ini pun mulai menyebar layaknya virus menjangkiti seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Sejarah perempuan di dunia menggambarkan nasib perempuan yang selalu dalam kemalangan, lemah tak berdaya tanpa perlindungan pria. Mulai dari perbedaan perlakuan, kekerasaan, hingga perbudakan pernah dialami perempuan. Bahkan di Afghanistan, kaum perempuan dilarang bekerja, menghibur diri, bahkan keluar rumah. Lalu bagaimana dengan nasib perempuan di Indonesia?? Rupanya tidak jauh berbeda dengan cerita-cerita pilu perempuan di dunia. Terlebih dengan adanya pengaruh kebudayaan di Indonesia.
Kebudayaan Indonesia mayoritas bersifat patriarki atau primordial dimana dominasi pria. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik hak-hak kaum perempuan biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh pria, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum pria didepan, di luar rumah dan kaum perempuan dirumah. Perempuan juga tidak dapat menikmati pendidikan. Bahkan dalam budaya jawa anak perempuan sudah didik untuk menjadi pengurus rumah tangga yang baik dan tunduk pada pria yang sudah dijodohkan dengannya. Bahkan perempuan dinikahkan di usia muda sudah menjadi biasa, karena dengan dinikahkan maka keluarga akan lepas tanggungjawab dan beban atau dengan pernikahan tersebut akan mengangkat perekonomian keluarga.
Dari segi cara berpakaian dan tingkah lau pun perempuan sangat dibatasi. Hingga akhirnya gerakan feminisme di Indonesia dimulai. Digawangi oleh R.A Kartini sebagai tokoh pelopor. Kartini hidup sebagai gadis “pingitan” dalam keluarga bangsawan jawa yang feodal. Namun nasib kartini beruntung karena dapat menegyam pendidikan daripada gadis-gadis di lingkungannya. Karena pertemannya dengan para teman “belanda”nya membuka pemikirannya. Yang ingin diperjuangkan Kartini adalah pendidikan untuk perempuan. Tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dalam bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang” ini yang menjadi momentum munculnya kesadaran para perempuan dan hadirnya feminisme di Indonesia. Sosok Kartini adalah insprirasi bagi perempuan Indonesia.
Kehadirannya sedikit lebih telah mendobrak dan mengubah pandangan perempuan dalam budaya jawa. Kini efeknya dapat kita rasakan dalam masyarakat modern. Dimana budaya-budaya lama sedikit demi sedikit telah luntur. Kini perempuan-perempuan di Indonesia bebas berekspresi dan mengenyam pendidikan hingga setinggi mungkin. Kesempatan kerja pun banyak diberikan untuk perempuan. Bahkan peran perempuan sudah menjalar hingga kehidupan berpolitik. Tidak sedikit tokoh perempuan yang turun dalam dunia perpolitikan. Dengan naiknya Presiden Megawati juga menunjukkan bahwa perempuan dapat diterima sebagai pemimpin sebuah negara. Dimana anggapan bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin dapat terpatahkan. Hak-hak perempuan pun mulai dijamin negara. Meskipun nasib perempuan Indonesia mengalami masa pencerahan, namun kenyataanya masih saja terdapat perlakuan yang diskriminatif, pelecehan dan kekerasaan pada perempuan.
Meskipun gerakan perempuan Indonesia telah menorehkan prestasi yang perlu dicatat dengan lahirnya UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, bukan hanya kekerasan fisik, tapi juga psikis, seksual, atau penelantaran (Bab III pasal 5) namun kekerasan rumah tangga yang diterima perempuan masih bnayak terjadi. Belum lagi kasus pemerkosaan, pelecehan, dan lain sebagainya. Dalam hal berpolitik juga tampak adanya tindakan diskriminatif. Terbukti dengan pembatasan jatah kursi bagi anggota DPR perempuan. Di wilayah desa pinggiran yang tak tersentuh modernitas dan masih tradisional dimana masyarakatnya hidup dengan pendidikan yang rendah pun nasib perempuan masih dalam keterpurukan. Begitulah Hitam putih feminisme di Indonesia. Harapannya perempuan Indonesia dapat merasakan kebebasan dan keadilan yang sama dengan pria sehingga tidak adanya cerita pilu lagi mengenai perempuan di Indonesia.
Phyta Cristalia*
*penulis adalah mahasiswa HI 08 dan kader komisariat fisipol
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Memberikan Komentar