Jumat, 20 Januari 2012

Emasipatoris dan Kesadaran Semu

Perjalanan manusia di bumi meninggalkan banyak cerita dan fenomena yang tercatat dalam sejarah. Dalam suatu fenomena akan menghasilkan sebuah persepsi dari individu yang kemudian akan menghasilkan sebuah konsep. Tak sedikit dari sekian banyaknya teori sosiologi, bertolak pada suatu kejadian penting dari perjalanan panjang manusia. Teori juga bisa dikatankan sebagai pisau analisis untuk menjelaskan suatu fenomena sosial. Tidak sedikit dari mereka berlomba-lomba mengahasilkan sebuah teori dan tentunya teori itu ingin diketaui, kemudian diakui kebenarannya. Namun, tidak menutup kemungkinan relevansi dari sebuah teori dapat dipertanyakan kembali pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu timbul berbagai polemik serta diskursus untuk mempertanyakan keabsahan dan kebenaran dari bermacam teori, saling tindas (krtik) dari suatu teori terhadap teori lainnya memberikan warna tersendiri dari perjalanan ilmu sosiologi.
Emansipatoris
            Berbicara kritik, mengikatakan saya pada salah satu mata kuliah yang saat ini saya tempuh. Dinamakan sebagai teori kritik mungkin karena teori ini banyak berisi bermacam kritikan terhadap teori atau konsep yang telah ada sebelumnya. Sependek yang saya pahami teori ini memiliki tujuan emansipatoris dan praksis, artinya teori ini ingin membebaskan masyrakat dari belunggu ideologis, dogmatis dan faktor lainnya yang dapat memberikan tekanan terhadap individu. Tekanan atau belenggu akan membunuh kreativitas dari individu dan terkadang hal itu menimbulkan apa yang disebut Marx dengan kesadaran palsu. Namun, seperti yang saya utarakan di awal, bahwa ini hanya sependek pengetahuan saya, dan pada kesempatan kali ini saya tidak akan membahas banyak tentang teori kritik karena sekali lagi bahwa saya belum mengetahui terlalu banyak dan perlu membuka lagi bab-perbab yang berkenaan dengan pemahaman teori kritik.
            Membebaskan mungkin satu kata itu yang membuat saya bertanya, apakah bebas itu baik...? mungkin kata bebas itu lebih dekat dengan sisi humanis, artinya memanusiakan manusia, yaitu tidak ada penindasan, pengekangan dan paksaan terhadap individu. Tidak dapat dipungkiri, sering kali saya dan mungkin banyak lagi teman-teman senasip dan seperjuangan lainnya, kususnya di jurusan sosiologi angkatan 2008 yang saat ini menempuh teori kritik. Terkadang kami merasa tertekan dengan banyaknya agenda tugas yang harus diselesaikan. Masih terdengar di telinga ketika seorang teman disebelah saya berbisik saat diakhir mata kuliah teori sosiologi kritik, “apa yang harus saya fokuskan saat ini? Apakah laporan mengenai kajian atau mata kuliah ini (baca: kuliah kriti)?”.
            Perlu kita pahami bersama bahwa apa yang dimaksud dengan “Emansipatoris” disini bukan semata-mata sebagai pembebasan dari kendala-kendala sosial, seperti perbudakan, kolonialisme, kekuasaan yang menindas, tetapi juga dari kendala-kendala internal, seperti gangguan psikis dan juga “ketidaktahuan” (F.Budi Hardiman 2009). Sperti yang kita ketahui bersama bahwa kita yang menyandang status Mahasiswa memiliki tiga fungsi; yaitu Agen of change, Agen of Knowledge dan agen Agen of Control. Untuk mewujudkan tiga fungsi tersebut maka perlu kiranya seorang mahasiswa memiliki sifat kritis. Seprti yang di ungkapkan oleh tokoh sosiologi kritis sebelumnya khususnya pada Mazhab frankfrut, yaitu Adorno dan hokheimer, mereka meletakkan kaum revolusieoner (yang menciptakan revolusi) pada kaum cendikiawan dan mahasiswa. Mereka menyatakan hal tersebut karena memiliki alasan bahwa cendikiawan dan mahasiswa yang memiliki sifat kritis. Gerakan mahasiswa 1998 merupakan catatan besar dalam sejarah bangsa ini, mengenai perjuangan mahasiswa yang melawan sistem totaliter pada zaman orde baru. Pada saat itu mahasiswa mampu membuktikan bahwa mereka adalah agen perubahan, yaitu melepaskan tekanan dari orde baru menuju masyarakat yang Demokratis.
            Habermas menyatakan bahwa refleksi-diri merupakan metode yang digunakan oleh Teori Kritik. Refleksi-diri adalah “kritik” yang dapat membebaskan orang yang melakukan refleksi-diri itu dari hubungan ketergantungan (F.Budi Hardiman 2009). Untuk dikatakan sebagai orang yang kritis diperlukan refleksi dan dorongan yang memiliki kepentingan kognitif emansipatoris. Berkenaan dengan permasalahan diatas mengenai perasan saya yang beranggapan adanya paksaan atau tekanan atas agenda tugas yang terkadang terkesan sangat padat. Mungkin metode refleksi-diri saya kira cukup baik untuk menjelaskan permaslahan ini. Memberikan tugas-tugas dan diharuskan membaca buku literatur yang banyak pula terhadap mahasiwa merupakan hal yang umum, meskipun terkesan sedikit memaksa. Hal tersebut bukan berarti tanpa alsan yang jelas, karena menurut saya setiap dosen pasti memiliki kepentingan atau keingin luhur, yaitu untuk menjadikan mahasiswanya menjadi insan yang memiliki intelektual yang baik. “Dipaksa, Terpaksa, kemudian Terbiasa dan Pada akhirnya bisa” mungkin proses mengajar seperti itu yang diterapkan oleh mereka karena memang dari pihak  mahasiswa itu sendiri kurang kritis terhadap dirinya sendiri. Artinya, terkadang mahasiswa kurang malakukan refleksi-diri. Kita sebagai mahasiswa terkadang melupakan akan kepentingan, tujuan dan alasan keberadan kita di kota Jember khususnya di Universitas Jember, Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu politik, jurusan sosiologi.

            Pada dasarnya tujuan kita melanjutkan jenjang pendidikan diperguruan tinggi adalah untuk mengasah intelektual kita agar lebih layak untuk dipergunakan. Akan tetapi, tujuan awal tersebut dapat dikaburkan oleh beberapa faktor dewasa ini, salah satunya adalah teknologi. Hampir semua mahasiswa pada umumnya, memiliki alat teknologi yang canggih seperti laptop. Alat itu bisa dibilang merupakan kebutuhan primer bagi mahasiswa karena digunakan untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen, akan tetapi laptop juga bisa dikatak sebagai kebutuhan sekunder karena terkadang masyarakat kita sering mengadopsi gaya hidup negara-negara maju. Kebanyakan menurut mereka teknologi melambangkan “orang maju” dan status sosial di dalam masyarakat. Artinya, kalu mau dikatakan maju harus memiliki alat teknologi. Mahasiswa gak punya laptop...? gengsi dong.....!!!!
            Adanya teknologi memang memiliki dampak positive dan negative, laptop yang kita miliki banyak mempunyai fungsi, yaitu bisa untuk mengetik, menonton film, main game dll. Namun, pada kenyataannya laptop lebih banyak digunakan untuk menonton film atau game dari pada mengetik. Misalnya akhir-akhir ini marak sekali game onlein yang tersedia di FB (facebook) ditambah dengan berlakunya jual beli cip dari permainan tersebut. Sehingga hal itu banyak menarik minat para kaula muda untuk bermain, hal tersebut didorong lagi dengan adanya  cafe yang menyediakan wifi. pesan satu gelas kopi dengan harga 5000 rupiah kita dapat onlein sepuasnya. Lebih parahnya lagi, banyak dari mereka sampai-sampai ketiduran di cafe tersebut. Mungkin inilah rute kegiatan  mahasiswa zaman sekarang, Malam Pacaran dilanjutkan dengan WIFI-an, Pagi Ketiduran, Siang ongkang-ongkang sambil rokokan , Wal Hasil Kuliah Berantakan......!!! (dan semoga semua itu hanyalah  sebuah gurauan.... hahay..... piss bro.....)
Fefleksi-diri sangat penting untuk membebaskan dari hubungan ketergantungan. Dan seperti yang dijelaskan diatas bahwa “emansipatoris” bukan semata-mata sebagai pembebasan dari kendala-kendala sosial, seperti perbudakan, kolonialisme, kekuasaan yang menindas, tetapi juga dari kendala-kendala internal, seperti gangguan psikis dan juga “ketidaktahuan”. Maka dari itu jika kita ingin dikatakan bebas, maka kita harus membebaskan diri dari ketidaktahuan, dengan mencari tahu apa yang belum kita tahuhi.  (Boleh Kritis, tapi tak Boleh Anarkis, gunakanlah rasio komunikatif)

*) Ruslan Wahyudi wasekum KPP komisariat fisipol
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Memberikan Komentar